Jumat, 03 Januari 2014

Partai Politik Indonesia di Era Reformasi : Partai Demokrat & SBY



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial, masyarakat dan berbagai kalangan sering membicarakan istilah politik. Politik nampaknya akrab sekali dengan kehidupan kita. Individu maupun kelompok tidak berpolitik adalah tidak mungkin. Perbincangan mengenai politik itu membahas organisasi pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara formal. Salah satu contohnya adalah mengenai partai politik.
Partai politik memiliki peran yang sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Sebagai komponen penting dari sistem politik modern dan dalam struktur politik demokratis, partai politik menjadi perantara antara penguasa dan warga negara yang memilih penguasa tersebut. Partai politik menjadi “tangan” rakyat dalam mengatur negara secara bersama. Partai politik yang bertanggung jawab adalah saran yang efektif untuk meredam konflik ditengah masyarakat, yaitu dengan menyalurkan konflik itu menjadi alternatif-alternatif kebijakan dan figur pemimpin yang diperjuangkan melalui cara-cara damai, etis, sah, dan diakui bersama.
Partai politik di Indonesia telah muncul pada dasawarsa kedua abad ke-20 dimasa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Artinya, partai telah hadir pada saat ke-Indonesiaan atau identitas nasional belum terumuskan. Namun, partai politik saat ini sedang berada dipersimpangan kritis. Kredibilitas dan citra politik saat ini merosot secara dramatis sejak keran sistem multi partai dibuka pada awal era reformasi.
Dan salah satu partai politik di Indonesia yang dapat dengan cepat mencapai postur politiknya yang besar adalah Partai Demokrat atau sering disebut Partai Biru dengan Susilo Bambang Yudhoyono (kerap disebut SBY) menjadi ikon partai ini. Namun, menjadi besar dan menjadi modern adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Menjadi besar bisa dicapai dengan meraih dukungan besar yang dicapai partai ini dalam Pemilu 2004 dan mengulang suksesnya kembali dalam Pemilu 2009. Partai Demokrat juga tak lepas dari masalah dan berbagai konflik. Sementara itu menjadi modern hanya mungkin dicapai manakala partai ini mampu keluar dari berbagai ancaman krisis dalam tubuhnya.
Oleh karena itu disusunlah makalah berjudul “Fenomena Partai Politik Indonesia di Era Reformasi : Partai Demokrat dan SBY” untuk menjelaskan fenomena Partai Demokrat yang mengejutkan sebagian kalangan itu serta memberikan gambaran perjuangan kekuasaan Partai Demokrat dalam memperoleh kekuasaan baik ketika belum memiliki kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi partai politik, fungsi, tipe, serta basis partai politik ?
2.      Bagaimana gambaran fenomena partai politik Indonesia di era reformasi ?
3.      Apa yang membuat Partai Demokrat menjadi fenomenal ?
4.      Ancaman krisis apa saja yang terdapat dalam tubuh Partai Demokrat ?
5.      Bagaimana Partai Demokrat dimasa sekarang ?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi partai politik, fungsi, tipe, serta basis partai politik.
2.      Menjelaskan gambaran fenomena partai politik Indonesia era reformasi.
3.      Mengetahui fenomena Partai Demokrat.
4.      Menjelaskan krisis-krisis yang dihadapi Partai Demokrat sebagai fenomena.
5.      Menjelaskan gambaran Partai Demokrat di masa sekarang.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Partai Politik
1.      Definisi Partai politik
           Dari sisi etimologis, menurut Laica Marzuki, kata partai berasal dari bahasa  latin pars, yang berarti bagian. Karena hanya suatu bagian, membawa konsekuensi pengertian adanya bagian-bagian lain. Oleh karena itu, jika hanya terdapat satu partai dalam suatu negara berarti tidak sesuai dengan makna etimologis dari partai itu sendiri.
           Pengertian dari sisi etimologis juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Partai berasal dari akar kata part yang berarti bagian atau golongan. Kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokkan masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan. Pengelompokkan itu bentuknya adalah organisasi secara umum, yang dapat dibedakan menurut wilayah aktivitasnya, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik.
           Dengan demikian, partai dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai adalah partai politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik. Penelitian ini memfokuskan pada partai politik sebagai organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik.
2.      Fungsi Partai Politik
           Menurut Sigmund Neumann, partai politik dalam suatu Negara demokrasi mempunyai empat fungsi yaitu :
a.         Partai mengatur kehendak umum yang kacau.
Partai adalah perantara ide-ide dan selalu menjelaskan, mensistematiskan, dan menerangkan ajaran partai. Partai adalah wakil dari kelompok-kelompok kepentingan social, menjembatani jarak yang terdapat antara orang seorang dan masyarakat luas.
b.        Mendidik warga negara untuk bertanggung jawab secara politik.
Partai mengajarkan suatu pola persaingan dari sekurang-kurangnya dua partai yang bersaing dan mempertajam kebebasan pilihannya. Para pemberi suara didorong untuk memilih sekurang-kurangnya yang paling kurang buruknya dari dua alternatif yang ada (tokoh dan kebijakan). Dengan kebebasan memilih, maka kompromi dari suatu situasi politik yang sulit pada akhirnya akan mencerminkan putusan yang masuk akal dari pemilih yang bebas.
c.       Menjadi penghubung antara pemerintah dan pendapat umum.
Hubungan antara pemimpin dan pengikat merupakan suatu keharusan dalam komunikasi dua arah yang ada dalam system demokrasi. Maka merupakan tugas utama dari partai adalah untuk menjaga agar saluran komunikasi itu tetap terbuka dan jelas. Tugas seperti ini menjadikan partai, kalau tidak sebagai peguasa, sekurang-kurangnya dalam suatu negara demokrasi perwakilan sebagai pengendali pemerintah.
d.      Memilih para pemimpin
Disini pola bersainglah, yaitu memilih sedikitnya diantara dua oligarki, yang menjalani mutu dari kepemimpinan. Pemilihan pemimpin demikian tentu saja mengasumsikan adanya suatu public yang mempunyai pikiran terbuka, public yang memenuhi syarat untuk membuat pilihan yang benar, dan adanya suasana intelektual yang cocok untuk berfungsinya partai-partai yang demokratis. Kalau berbagai persyaratan seperti itu sudah tidak ada lagi, maka timbullah krisis demokrasi.         
Menurut Almond, ada delapan fungsi struktur politik, yaitu :
Sosialisasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan
               Tiga fungsi yang pertama yaitu sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik, tidak secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan (public policy), tetapi sangat penting dalam menentukan cara bekerjanya system politik. Dan lima fungsi struktur politik lainnya yaitu  terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dalam setiap sistem politik.
           Miriam Budiardjo mengajukan fungsi-fungsi partai politik yang sedikit berbeda, yaitu menjadi sarana dari : komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik (Confilct Management). Dalam fungsi komunikasi politik, Miriam memasukkan dua fungsi dari Almond diatas, yaitu fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan.
           Dalam pandangan Macridis, fungsi-fungsi partai politik yang diajukan oleh para ilmuwan politik dan sosiologi - seperti representasi, perantara, konversi, dan agregasi; integrasi (partisipasi, sosialisasi, dan mobilisasi); persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru), dan pemilihan pemimpin; pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijakan; serta control terhadap pemerintah – tidaklah memberikan komseptualisasi yang memuaskan mengenai hubungan fungsi dan struktur politik. Karena itu. Macridis mengajukan satu fungsi terakhir partai politik, yaitu apa yang disebutnya dengan fungsi dukungan (supportive function). Partai tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga harus menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidupnya dan kelangsungan hidup system dimana partai itu beroperasi.
           Partai harus menciptakan dukungan pada system, karena tidak ada partai yang dapat hidup untuk waktu yang lamatanpa adanya usaha menanamkan pola kepercayaan dikalangan rakyat yang bias mendukungnya dan mendukung klangsungan system politik secara keseluruhan, antara lain dengan secara efektif menjalankan fungsi konversi. Hal ini terutama penting di negara-negara baru, dimana system politik yang dibangun kadang tidak memperhatikan kepentingan kelompok-kelompok yang terlibat sehingga konflik yang terjadi menghancurkan system itu sendiri. Maka, kemampuan untuk berkompromi, tegasnya, merupakan hal yang pertama yang esensial dan diharapkan dari partai-partai di negara-negara baru.
3.      Basis Partai politik
           Sebagai bagian dari masyarakat, partai politik tentu bergantung pada masyarakat, baik secara basis dalam hal pembentukan maupun dalam hal dukungan pemilih.
           Pembentukan partai politik, baik secara teoritis maupun praktik di negara-negara demokrasi yang stabil di eropa dan Amerika Serikat, boleh mengikuti setiap unsur yang ada dalam masyarakat. Sebuah partai boleh hanya untuk satu etnis tertentu saja, untuk satu agam saja, atau hanya untuk suatu profesi atau kelas tertentu saja. Parta-partai dengan basis terbatas ini tidaklah harus menjadi eksklusif yang merongrong demokrasi. Yang menjadi musuh demokrasi adalah partai yang berjuang mencapai kekuasaan politik dengan cara-cara kekerasandan diluar ketentuan hokum, seperti kudeta atau revolusi, atau untuk tujuan-tujuan yang menafikkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, seperti pada partai komunis.
           Perbedaan agama, suku, dan kelas social dalam masyarakat kadang kala memang memunculkan partai-partai yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan itu, meskipun hal itu tidak selalu terjadi. Menurut Gabriel Almond, yang lebih mungkin mempengaruhi pembentukan partai-partai adalah  pengalaman-pengalaman historis yang memperkuat kesadaran politik dari satu atau beberapa kelompok masyarakat. Dominasi satu suku atas suku lain, konflik-konflik yang sudah berjalan lama antarkelompok-kelompok keagamaan, adanya usaha dari suatu kelompo budaya untuk memaksakan pemakaian bahasanya pada kelompok-kelompok lain, dominasi dari suatu aristokrasi atau kelas industrialis atas buruh dan petani kecil, dan sebagainya, semua ini merupakan situasi-situasi yang dapat mempengaruhi pola pembentukan partai politik.
           Dalam konteks sejarah Barat, Maurice Duverger menunjukkan bahwa partai-partai politik di Eropa terbentuk karena adanya “pertentangan dasar”. Umumnya basis konflik adalah pertentangan kelas yang bersifat ideologis, dan karena agama, factor-faktor institusional dan sejarah, serta partai nasionalis yang menuntut kemerdekaan bangsanya dari kekuasaan negara atau bangsa lain. Selain itu, ada pula partai kelas, yakni partai petani di negara-negara Skandinavia yang muncul tanpa konflik dengan kelas borjuis atau feudal.
           Dalam bahasa Lipset dan Rokkan, dasar pembentukan partai politik di Eropa adalah Social Cleavages , pembelahan social, yang dihasilkan oleh ketegangan-ketegangan social-kultural antara pusat-daerah, Negara-agama, tuan tanah-indutriawan, dan pengusaha-buruh.
           Basis pendukung atau pemilih dari suatu partai politik dapat dibedakan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan sosiologis yang mengasumsikan bahwa preferensi atau pilihan orang terhadap suatu partai merupakan produk dari karakteristik sosio-ekonomi, seperti status social, agama, kota-desa, dan kedaerahan. Kedua, pendekatan Party Identification, yang merupakan gambaran persepsi psikologis masyarakat terhadap partai, yang terbentuk melalui sosialisasi politik sejak kecil atau karena suatu peristiwa penting dalam hidup. Identifikasi partai ini, dapat dibaca melalui survey, berfungsi untuk mengetahui tingkat fragmentasi politik.
           Karena ingin mendapat dukungan pemilih seluas mungkin guna memperoleh kekuasaan politik, partai politik pada umumnya memperluas basis sosialnya atau basis pendukungnya, dengan dasar-dasar yang bersifat nasional di suatu negara.
4.      Tipe Partai Politik
           Macridis menyebut sejumlah tipe partai politik, yaitu :
a.       Dilihat dari sumber dukungan, dibagi menjadi dua yaitu Partai komprehensif dan Partai sectarian.
b.      Dilihat dari segi organisasi internal, terbagi menjadi dua yaitu Partai tertutup dan Partai terbuka
c.       Dilihat dari segi fungsi dan cara bertindak, pada dasarnya partai terbagi menjadi dua yaitu Diffused party  (partai menyebar) dan Specialized party (partai terspesialisasi)
        Miriam Budiharjo menyebut empat jenis partai politik, yaitu partai kader dan partai massa dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaan, serta partai lindungan dan partai ideology dilihat dari segi sifat dan orientasi.
        Pengklasifikasian jenis partai yang dilihat dari sudut pandang secara umum, adalah :
1.         Partai Proto
                        Jenis partai ini merupakan karakter dasar dari tipe awal parpol, yang biasanya ada dalam lingkung­an parlemen atau intraparlemen. Basis pendukungnya adalah kelas menengah ke atas. Bentuk organisasi dan ideologinya relatif rendah (sederhana). Belum sepenuhnya sebagaimana dalam ciri parpol modern. Ciri faksional masih menonjol, dan ciri yang jelas adalah pembedaan antara kelompok anggota dan non-anggota.
2.       Partai Kader.
                        Secara his­toris partai ini berkembang sebagai akibat hak pilih belum diberikan kepada masyarakat luas. Anggotanya kebanyak­an kelas menengah ke atas, dan tidak memerlukan organi­sasi besar untuk memobilisasi massa. Penekanan partai kader sesungguhnya adalah terletak pada penguatan yang cukup tinggi pada level pengurusnya, dalam hal peningkatan kapasitas perso­nalnya untuk kepentingan partai.
3.         Partai Massa.
                        Berkembangnya jenis ini ka­rena adanya perluasan hak pilih rakyat. Parpol ini di­hentuk di luar parlemen (ekstraparlemen). Orientasi parpol ini adalah kepada basis pendukung, yaitu buruh, petani dan massa lainnva. Tujuannva adalah untuk pendidikan politik dan pemenangan pemilu. Ideologi dan organisasi­nva rapi.


4.         Partai Diktaktoral.
Jenis  ini adalah merupakan subtipe partai massa. Ideologinya kaku dan radikal. Pimpinan tertinggi melakukan kontrol ketat. Rekrutmen anggotanya sangat ketat, di mana ang­gota parpol dituntut mengabdi secara total. Namun sesung­guhnya di tingkat pengambilan keputusan, istilah “diktatoral” tampaknya kurang tepat. Hanya saja di sini lebih pada aspek konsistensi dan ketatnya implementasi ideologi yang coba dikembangkan oleh partai-partai jenis ini.
5.         Partai Catch-All.
                        Jenis partai ini merupakan gabungan antara partai kader dan massa. Mereka berusaha menampung kelompok sosial sebanyak­banyaknya untuk menjadi anggotanya. Tujuannya meme­nangkan pemilu berkaitan dengan berkembangnya kelom­pok kepentingan dan penekan, dan ideologinya tidak ter­lalu kaku.

B.       Partai Politik Indonesia Era Reformasi
              Sebenarnya, dalam teori dan sejarah praktik politik diseluruh dunia, tidak ada model tunggal organisasi partai politik yang terbaik yang dapat berlaku dimana-mana. Partai politik dapat berupa organisasi yang hierarkis dan birokratis, atau menjadi organisasi payung bagi para kandidat yang maju dalam Pemilu atau organisasinya berada diantara dua bentuk ekstrim tersebut. Kelembagaan partai politik disuatu negara sangat bergantung pada sejarah kemunculan partai itu sendiri, disamping “ketesediaan” sistemik yang membangun kehidupan kepartaian.
              Di masa reformasi, partai politik berada dipersimpangan kritis. Dukungan publik yang begitu besar telah berubah menjadi kritik, cemoohan, bahkan sikap antipati. Di sisi lain, partai politik merupakan salah satu pilar utama sistem demokrasi terbuka.
              Sebagai salah satu pilar utama, tidak bisa dipungkiri peran dan fungsi partai politik sangatlah penting dalam mendorong proses konsolidasi demokrasi. Akan tetapi, sampai saat ini, partai politik belum berhasil menjalankan peran dan fungsinya secara optimal dalam membangun sistem politik yang demokratis di Indonesia.
              Partai politik di Indonesia masa reformasi masih didera berbagai masalah mulai dari kepemimpinan politik, konflik internal, sumber daya keuangan, dan pemenuhan sumber daya manusia yang berkualitas di partai politik. Partai politik sebagai entitas politik yang punya problematika dasar, tetapi peran dan fungsinya dibutuhkan untuk membangun dan menjaga demokrasi. Oleh karena itu partai politik yang sedang menghadapi permasalahan besar dalam konteks evolusi sistem kepartaian di Indonesia jangan dimusuhi, tetapi diperkuat dan diberdayakan kapasitas demokrasinya dalam mendorong proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Gerakan reformasi yang dimotori M. Amien Rais dan disokong oleh mahasiswa, akhirnya berhasil mendorong jatuhnya Soeharto dari kursi presiden Indonesia yang diduduki lebih dari 30 tahun, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998, yang diikuti penunjukkan Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai presiden. Jatuh atau mundurnya Soeharto ini menumbuhkan harapan akan kehidupan politik yang lebih baik dan demokratis. Luapan kebebasan yang dirasakan oleh masyarakat mendorong lahirnya banyak partai politik baru, yang didirikan oleh tokoh-tokoh yang tidak diakomodasi dalam system kepartaian Orde Baru, atau oleh tokoh-tokoh yang keluar dari partai politik yang ada (PPP,Golkar, dan PDI) dan membentuk partai politik sendiri.
Sebelum reformasi 1998, selain PPP, Golkar, dan PDI telah ada Masyumi baru, Partai Uni Indonesia (PUDI), dan Partai Rakyat Demokratik. Dan setelah reformasi Mei 1998, berdiri ratusan partai-partai politik, diantaranya adalah :
1.    Partai Ummat Islam (PUI)
2.    PDI mengalami perpecahan. Selain PDI yang dipimpin oleh Budi Hardjono (dikenal sebagai PDI Suryadi), berdiri pula :
a.          Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
b.         Partai Murba
c.          Partai IKPI
d.         PNI juga dihidupkan kembali. PNI mengalami perpecahan antara PNI, PNI-Massa Marhaenis, dan PNI-Font Marhaenis.
e.          Parkindo lahir kembali dengan nama Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna)
f.          Partai Katolik tidak dihidupkan kembali, namun dari kalangan katolik lahir tiga partai, yaitu :
1)      Partai Demokrasi Kasih Bunda (PDKB)
2)      Partai Katolik Demokrat (PKD)
3)      Partai Demokrat Katolik (PDK)
3.      PPP juga mengalami perpecahan. Selain PPP yang dipimpin oleh Hamzah Haz, berdiri pula :
a.         PSII dihidupkan kembali, namun mengalami perpecahan, antara PSII 1905 dan PSII.
b.         Partai Persatuan
c.         NU tidak mengubah diri menjadi partai politik namun perpecahan dalam tubuh organisasi Islam tradisional ini memunculkan empat partai politik baru, yaitu :
1)      Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI)\
2)      Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
3)      Partai Nahdlatul Ummat (PNU)
4)      Partai Kebangkitan Umat (PKU)
4.      Dari Golkar, selain Golkar berubah menjadi Partai Golkar, muncul dua partai baru, yaitu :
a.       Partai MKGR
b.      Partai Keadilan dan Persatuan (PKP)
5.      Dari keluarga besar Masyumi muncul beberapa partai baru, selain Masyumi Baru pimpinan Ridwan Saidi, yaitu :
a.         Partai Bulan Bintang (PBB)
b.         Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
6.      Partai Keadilan (PK)
7.      Partai Amanat Nasional (PAN)
Sebagian partai baru itu, khususnya yang dibentuk oleh pendukung partai yang sudah “mati”, pada dasarnya berakar pada era pergerakan kemerdekaan sampai akhir masa demokrasi parlementer. Basis sosial partai-partai itupun menapaki masa lalunya. Begitu pula dengan dasar-dasar ideologinya.
Bahkan para pengurusnya punya kaitan keluarga, kerabat, teman, dan patron dengan sejumlah elit partai pendahulunya. Dilihat dari sisi lain, sebagian partai-partai baru di era reformasi dilatari oleh gerakan masyarakat anti kediktatoran Orde Baru untuk menegakkan demokrasi ekonomi, politik, dan sosial. Akan tetapi, disamping itu juga ada sejumlah partai lahir dari tangan tokoh masyarakat yang ambisius, petualang politik, dan penjudi nasib yang bermotif mendapat kekuasaan, nama, dan fasilitas. Secara umum, dapatlah dikatakan bahwa karakter organisasi system kepartaian Indonesia dilandasi oleh keyakinan yang mendekati fanatik atas sejarah dan ideologi partai serta kepentingan para pemimpin masing-masing.
Selain membebaskan pembentukan partai politik dan penggunaan asas partai, mencabut P4 dan menghilangkan floating mass, secara umum format kepartaian pada awal era reformasi (1999) tidaklah banyak berbeda dari warisan Orde Baru sebagai akibat masih kuatnya kelompok status quo di pemerintah dan parlemen. Hal yang positif adalah diselenggarakannya pemilihan umum pada hari libur atau hari yang diliburkan, yang member peluang pada birokrasi untuk menentukan pilihannya secara bebas dan tanpa tekanan.
Jika di masa revolusi dan demokrasi parlementer kabinet disusun oleh suara mayoritas di parlemen, dengan menyisakan partai oposisi, maka di era reformasi ini tidak ada partai politik yang bersedia duduk di kursi oposisi. Akibatnya, kabinet menjadi pelangi.
Berdemokrasi, termasuk berpartai politik, bukanlah proses sekali jadi. Demokrasi atau usaha membangun partai politik yang sehat, kokoh, dan aspiratif bagi kepentingan rakyat secara umum jelas memerlukan waktu dan pembelajaran. Hal ini, bukan saja menuntut kesabaran dalam berdemokrasi, tetapi juga kesungguhan untuk bekerja demi kepentingan umum. Partai-partai akan gagal jika dikritik dan kekecewaan rakyat tidak dapat diapresiasi oleh partai dengan responsive. Partai akan gagal jika kecenderungan oligarki dalam dirinya tidak dientaskan. Partai tidak akan kokoh jika aspirasi masyarakat diabaikan dan kelompok-kelompok baru dalam masyarakat tidak diakomodasi dalam struktur kerjanya.
Apabila menghadapi kelemahan-kelemahan partai politik di era reformasi tersebut masyarakat berpaling kepada militer atau sistem politik otoritarian, maka yang dihasilkan tetap sevuah rezim anti-demokrasi yang jauh lebih korup sebenarnya, baik terhadap kekuasaan maupun keuangan Negara. Karena itu, pemantapan atau konsolidasi demokrasi juga memerlukan dukungan atas demokrasi dalam pikiran dan perilaku masyarakat. Kelebihan demokrasi adalah tersedianya mekanisme untuk terus memperbaiki sistem yang berlaku.

C.     Partai Demokrat adalah fenomena
1.      Pembentukan dan berdirinya Partai Demokrat
            Sesungguhnya masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk mewujudkan tatanan baru dalam yang menjadi tujuan utama gerakan reformasi. Pilihan itu terletak pada dua hal utama yang harus dilakukan. Pertama, mendahulukan sistem ketatanegaraan yang diharapkan dapat membuka peluang bagi kelahiran pemimpin bangsa yang ideal. Kedua, pilihan sebaliknya adalah memilih pemimpin yang akan mampu memimpin bangsa Indonesia menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Di tengah wacana dan pemikiran itu muncullah sosok Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY). Nama ini kemudian hari semakin menarik simpati masyarakat dalam upaya mencari pemimpin nasional yang ideal. Namanya mulai diperhitungkan saat SBY menjadi salah satu calon wakil presiden dalam siding MPR tahun 2001. Meskipun kalah kemunculan SBY dalam pencalonan sebagai wakil presiden yang didukung oleh utusan golongan MPR dan disokong 100 anggota telah melahirkan momentum baru. Masyarakat yang simpati pada SBY merasa peduli terhadap perkembangan politik masa itu. Masyarakat menganggap SBY adalah tokoh yang memnuhi impian masyarakat akan pemimpin yang ideal.
            SBY, seorang jenderal cerdas dan santun, orang jawa, beragama islam, dan tangannya tidak berlumuran darah seperti banyak senior dan jenderal koleganya membuat mereka yang merasa yakin bahwa SBY adalah sosok pemimpin yang ideal melakukan pendekatan. Pada saat yang sama kebetulan SBY secara pribadi punya kepentingan yang sama. Yakni, menggagas sebuah wadah yang bias menjadi kendaraan politik yang mampu mengusung dirinya dalam pertarungan kepemimpinan nasional pada kemudian hari.
            Bagi SBY mendirikan partai merupakan pemikiran lama. Gagasan dan ide perlunya sebuah partai politik itu didasari kenyataan bahwa banyak partai yang belum bias memenuhi kebutuhan. Keinginan, dan harapan rakyat Indonesia. Pada saat itu banyak partai yang dianggap tidak bias memperjuangkan nasib rakyat.
            Dengan demikian dalam bayangan SBY dan juga para penggagas yang sebagian besar adalah kalangan akademisi, partai yang dibangun harus mencitrakan modernitas, kedamaian, kesejukan, menjunjung tinggi moralitas, dan bertanggung jawab terhadap pendidikan politik rakyat. Kemudian SBY aktif merumuskan berdirinya sebuah partai. Selain didorong oleh ada sejumlah orang yang mendukungnya, karena tanpa partai maka tidak ada kesempatan untuk meraih tampuk kekuasaan.
            Namun, pada saat SBY sibuk merumuskan berdirinya sebuah partai mendadak mendapat telepon dari Megawati yang baru dilantik menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dilengserkan oleh SI MPR pada juli 2001 untuk menjadi Menko Polkam (Menteri Koordinator Politik dan Keamanan).
            Pada tanggal 12 Agustus 2001 sebuah pertemuan berlangsung di Hotel Hilton yang dipimpin langsung SBY. Dalam pertemuan hadir pula tokoh-tokoh yang menjadi penyokong kuat Partai Demokrat. Kemudian rapat tersebut membentuk tim pelaksana atau tim pembentukan partai yang mengadakan pertemuan secara maraton setiap hari. Tim itu terdiri dari :
a.        Vence Rumangkang,
b.       Drs. A. Yani Wahid (Alm)
c.        Achmad Kurnia
d.       Adhiyaksa Dault
e.       Baharuddin Tonti
f.         Shirato Syafei                        
            Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Dan tanggal 20 Agustus 2001 para penggagas partai mulai berusaha merekrut orang untuk menjadi pendiri sebuah partai politik. Disepakati dibutuhkan 99 orang.
            Setelah dilakukan verifikasi oleh Sutan Bhatoegana, Prof. Subur Budhisantoso diangkat menjadi pejabat Ketua Umum dan Prof. Dr. Irzan Tanjung sebagai pejabat Sekretaris Jenderal. Sementara jabatan Bendahara diserahkan ke Vence Rumangkang.        
            Pada tanggal 9 September 2001 pukul 20.30 WIB, bertepatan dengan hari ultah SBY yang ke-52 di Cikeas, Tim Pendiri melapor ke SBY mengenai telah terbentuknya Partai Demokrat. Dan pada tanggal 10 September 2001 Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM.
            Tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakemas) Pertama pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia.
2.      Sosok sang jenderal
            Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono adalah lulusan terbaik AKABRI 1973 (Akabri: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek) yang kemudian akrab disapa SBY. Lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.
            Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas
            Yudhoyono yang dipanggil "Sus" oleh orang tuanya dan populer dengan panggilan "SBY", melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Pacitan. Selama di militer ia lebih dikenal sebagai Bambang Yudhoyono.           
            Langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional.

3.      Gejala Gigantisme Partai Demokrat
            Setelah terbentuk tanggal 9 September 2001 Partai Demokrat lahir dan besar dengan melewati banyak rintangan. Nama Partai Demokrat mulai diperhitungkan ketika SBY, calon presiden yang diusung Partai Demokrat dizalimi Taufik Kiemas. Polemik kemudian memuncak saat SBY mundur dari posisi Menko Polkam. Saat itulah Partai Demokrat mulai diperhitungkan, terutama setelah SBY secara terbuka mengatakan bahwa dirinya adalah pendiri Partai Demokrat dan maju sebagai calon presiden dalam pemilu 2004.
            Dengan melintasi syarat ketat Komisi Pemilihan Umum (KPU)  Partai Demokrat maju di pemilu 2004. Partai Demokrat adalah benar-benar fenomena. Diulang tahunnya yang ketiga, pada 9 September 2004 sudah merayakan dua pesta kemenangan, yaitu :
a.       Meraih sekitar 8 juta (7,8 %) pemilih atau 56 (10,18%) kursi DPR dalam pemilu legislative 5 April 2004.
b.      Mengantar SBY kandidat yang mereka usung bersama kandidat wakil presiden Muhammad Jusuf Kalla ke posisi nomor satu (diatas Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi) dalam putaran pertama Pemilu Presiden 5 Juli 2004.
            SBY-Kalla akhirnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden dengan kemenangan telak atas Megawati-Muzadi dalam putaran kedua pemilihan presiden (20 September 2004) yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Indonesia merdeka diadakan secara langsung.
            Namun apa makna gejala gigantisme itu?. Partai Demokrat menjadi partai yang bongsor dalam sejarah reformasi yang masih pendek. Dengan cepat partai ini menjadi besar. Diulang tahunnya yang ketiga Partai Demokrat sudah meraih tampuk kekuasaan. Di atas permukaan, mungkin berita baik bagi anggota partai baru ini. Namun, pemimpin, anggota, maupun simpatisan Partai Demokrat harus hati-hati, berkaitan dengan kemungkinan gejala gigantisme dalam partai politik tersebut. Makna gigantisme itu sendiri adalah BESAR SECARA CEPAT SAMBIL TAK SEHAT. Gejala gigantisme Partai Demokrat adalah sebuah partai yang besar secara cepat tapi juga cepat tersungkur.

4.      Partai Demokrat dalam Pemilu 2009
            5 tahun telah berlalu, Partai Demokrat yang sukses dalam Pemilu 2004 dan membawa SBY menjadi orang nomor satu di Indonesia dan Muhammad Jusuf Kalla menempati kursi nomor dua RI sebagai wakilnya kembali mengulangi sukses tersebut dalam Pemilu 2009.
            Dari hasil Pemilu 2009, Partai Demokrat menjadi Pemenang Pemilu Legislatif 2009. Partai Demokrat memperoleh 150 kursi (26,4%) di DPR RI, setelah mendapat 21.703.137 total suara (20,4%).  Partai Demokrat meraih suara terbanyak di banyak provinsi, hal yang pada pemilu sebelumnya tidak terjadi, seperti di Aceh, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Dan untuk kedua kalinya SBY menduduki kursi nomor satu RI, namun berbeda dengan tahun sebelumnya dimana Jusuf Kalla sebagai wakilnya kini SBY didampingi oleh Boediono.
            Bagaimanapun kemunculan SBY dan Partai Demokrat adalah merupakan bagian penting tidak hanya berkontribusi pada pendewasaan sikap politik rakyat Indonesia, namun sekaligus bereksperimen memadukan antara keterbukaan dan kebebasan politik dengan gerak maju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Dan satu hal lagi, pilihan kepada SBY, dalam banyak analisis mengenai perilaku pemilih dalam pemilu, memasukkan unsur etika dan moral politik sebagai salah satu alasan pilihan.
            Penentuan pilihan politik rakyat kepada SBY dan beralihnya pilihan politik massa kepada Partai Demokrat, sehingga keduanya mampu memenangkan kompetisi politik di Pemilu 2009 lalu, adalah satu hal yang penting direnungkan. Cukup banyak bertebaran ide dan pelajaran berharga, tidak hanya berkenaan dengan seni berpolitik, namun juga berhubungan kuat dengan kalkulasi penentuan masa depan bangsa. ada unsur-unsur dan nilai-nilai universal yang merupakan prinsip pokok dalam berpolitik. Unsur-unsur itu telah teruji pada dua kali pemilu: menjadi success kemenangan politik.

D.       Krisis multidimensi yang menyelimuti  Partai Demokrat
           Partai Demokrat dibentuk ditengah absennya jaringan utama. Partai Kebangkitan Bangsa memiliki NU atau Nahdlatul Ulama sebagai jaringan utama. Partai Amanat Nasional sedikit banyak mengandalkan Muhammadiyah sebagai jaringan utama, sekalipun kemudian terbukti gagal. Golkar, PDI-P, dan PPP mengandalkan jaringan utama yang diwariskan oleh struktur politik partai itu dari masa Orde Baru. PBB mengandalkan sisa-sisa penyokong Masyumi sebagai jaringan utama. PKS memanfaatkan jaringan dakwah sebagai jaringan utama. Partai Demokrat tak punya jaringan utama semacam itu. Maka, Partai Demokrat sejatinya “tak berkaki”.
           Dalam konteks itulah SBY menjadi bagian yang amat penting dari partai ini. Maka terbangunlah sekaligus tiga ancaman krisis dalam tubuh Partai Demokrat, yaitu :
1.      Krisis Kepemimpinan
         Sejak lahir Partai Demokrat sangat bergantung pada figur SBY. Sudah menjadi bahan analisis banyak pengamat bahwa faktor SBY sebagai magnet politik Partai Demokrat tergolong luar biasa. Salah satu cirri Partai Demokrat adalah ketergantungan pada “figur besar”. Meniru kecenderungan yang terjadi dipartai-partai pendahulunya, contohnya PDI-P dengan Megawati Soekarno Putri, PAN dengan sosok Amien Rais, serta PKB dengan Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid.
         Hidup dan masa depan Partai Demokrat sedikit banyak bergantung pada sosok SBY. Dilihat dari perspektif apapun jelas tak sehat, sehingga potensial partai ini sedikit tersendat-sendat untuk menjadi partai modern.         Ditengah situasi yang khas Pemilu 2004 yaitu sambutan masyarakat atas pemilihan langsung Presiden pertama sepanjang sejarah Republik Indonesia, semangat masyarakat memperbaharui harapan mereka setelah dikecewakan oleh Pemilu 1999, SBY menjadi ikon partai ini. Popularitas SBY pun terkerek naik dengan cepat dengan adanya perseteruan SBY dengan Taufik Kiemas dan Bambang Kesowo.
         SBY pun menjadi modal politik terpenting bagi Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2004 dan dua putaran Pemilu Presiden 2004. Ini membentuk hubungan khas diantara SBY dan Partai Demokrat. Partai Demokrat ada dalam posisi lebih berutang kepada SBY daripada sebaliknya. Secara politik, SBY pun jauh lebih besar dari partai yang menyokongnya.
2.      Krisis Dukungan
           Partai Demokrat memiliki potensi untuk dengan cepat menjadi partai besar mengingat sejarah sosial dan politik pembentukannya. Beberapa survey menunjukkan dukungan pemilih signifikan untuk partai ini terutama bukanlah sebagai akibat dari pengorganisasian dan jaringan partai yang rapi dan bekerja efektif. Melainkan pertama dan terutama karena popularitas sang ikon, SBY dimata pemilih. krisis dukungan yang menjadi tali-temali terhadap posisi central sosok SBY. keadaan Indonesia yang semrawut menjadikan masyarakat berlomba-lomba mencari tatanan baru untuk mencari pemimpin yang ideal bagi Indonesia. Kala itu, sosok SBY telah ditangkap oleh elemen masyarakat sebagai tokoh ideal memimpin Indonesia.
3.      Krisis Identitas
           Sejak terbentuk tahun 2001 dan menjadi fenomenal dalam Pemilu 2004, Partai Demokrat tidak menampakkan identitas ideologi dan orientasi program mereka secara jelas.
           Basis sosial penyokong utama dan pendukung partai inipun sebetulnya sulit diidentifikasi. Baik dalam pengertian ideologi dan pengertian orientasi program juga sulit teridentifikasi secara tegas. Sehingga partai ini ditandai dengan adanya identitas kepartaian yang sangat kabur.
E.     Si Partai Biru masa kini
            Demokrat saat ini ibaratnya seperti kapal titanic, yang secara perlahan akan tenggelam sambil menunggu waktu. Banyaknya kader Partai Demokrat (PD) yang terjerat hukum, membuat citra partai berlambang bintang mercy ini kian menurun. Dimana banyak elite Demokrat yang bermasalah.
            Tidak sedikit petinggi Partai Demokrat terseret dalam kasus korupsi tersebut. Petinggi Partai Demokrat yang bermasalah karena kasus korupsi diantaranya adalah: M. Nazaruddin (bekas bendahara umum) telah divonis 4 tahun 10 bulan penjara dalam kasus Wisma Atlet, Angelia Sondakh (wakil sekretaris jenderal) tersangka kasus suap Wisma Atlet dan Proyek Universitas, Hartati Murdaya (bekas anggota dewan pembina) dalam kasus dugaan suap Bupati Buol Amran Batalipu terkait izin lahan kelapa sawit, Andi Mallarangeng (sekretaris dewan pembina) dalam kasus Wisma Atlet dan proyek Stadion Hambalang , dan Anas Urbaningrum (ketua umum) dalam kasus proyek Stadion Hambalang.
            Sebelumnya juga, beberapa kader partai ini telah divonis bersalah karena melakukan praktik korupsi. Misalnya As’ad Syam (anggota DPR 2009-2014 Dapil Jambi), Yusran Aspar (anggota DPR 2009-2014 Dapil Kaltim), Sarjan Tahir (anggota DPR 2004-2009), Ismunarso (Bupati Situbondo, Jatim, 2005-2010), dan Yusak Yaluwo (Bupati Boven Digoel, Papua). Fakta ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat sebagai partai yang berkuasa, dikotori oleh kader-kader yang korup. Memang tidak ada partai politik di negeri ini yang bersih dari korupsi.
            Banyaknya petinggi PD yang bermasalah menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Demokrat. Penurunan popularitas SBY dan Demokrat sudah sangat jelas mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) belakangan ini dan juga dalam Pemilu 2014 yang akan datang. Kekalahan Fauzi Bowo (anggota dewan pembinan Demokrat) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta putaran pertama yang lalu, tidak terlepas dari menurunnya kepercayaan masyarakat Jakarta terhadap Demokrat. Tanpa ada pembenahan internal partai, maka Demokrat akan mengalami nasib sial apalagi pada 2014 SBY tidak bisa mencalonkan diri lagi sebagai presiden.
            Dulu di saat PD berjaya, tidak sedikit kepala daerah yang diusung oleh partai non-Demokrat tetapi ketika dia terpilih justru menjadi Ketua Partai Demokrat di tingkat daerah tersebut. Hal itu hanya demi menjaga posisi karena penguasa di pusat berasal dari Demokrat. Tetapi sekarang dan ke depan, pilihan itu bisa berubah 180 derajat karena SBY tak dijagokan lagi dalam Pemilu 2014.
            Jika tidak ada pembenahan di internal partai khususnya tindakan tegas terhadap kadernya yang bermasalah, maka tidak tertutup kemungkinan partai yang berwarna biru ini akan padam. Tetapi jika partai ini ingin bangkit dan bersinar lagi, maka Demokrat harus berlari cepat dan di jalur yang tepat dalam pembenahan internal dan kinerja kadernya. Selain itu tidak bisa dimungkiri, posisi SBY sebagai presiden dan juga sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat, sangat menentukan dalam memperbaiki citra partai dan meningkatkan kepercayaan publik. Dan tingkat kepercayaan publik akan naik jika SBY menepati janjinya secara tegas seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Partai dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai adalah partai politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik. Fungsi partai politik diantaranya adalah sebagai sarana sosialisasi politik, rekrutmen politik,  komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan. Basis partai politik diantaranya adalah basis social dan basis pendukung, sedangkan tipe partai politik secara umum diantaranya yaitu partai kader, partai massa, partai proto, partai dictatorial, dan partai catch all.
2.      Di masa reformasi partai politik di Indonesia masih didera berbagai masalah mulai dari kepemimpinan politik, konflik internal, sumber daya keuangan, dan pemenuhan sumber daya manusia yang berkualitas di partai politik. Selain membebaskan pembentukan partai politik dan penggunaan asas partai, mencabut P4 dan menghilangkan floating mass, secara umum format kepartaian pada awal era reformasi (1999) tidaklah banyak berbeda dari warisan Orde Baru sebagai akibat masih kuatnya kelompok status quo di pemerintah dan parlemen. Di era reformasi ini tidak ada partai politik yang bersedia duduk di kursi oposisi dan kabinetpun menjadi pelangi.
3.      Partai Demokrat menjadi fenomenal karena dengan cepat partai ini menjadi besar. Diulang tahunnya yang ketiga, pada 9 September 2004 sudah merayakan dua pesta kemenangan, yaitu meraih sekitar 8 juta (7,8 %) pemilih atau 56 (10,18%) kursi DPR dalam pemilu legislative 5 April 2004 dan  mengantar SBY-Kalla akhirnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
4.      Tiga ancaman krisis dalam tubuh Partai Demokrat, yaitu krisis kepemimpinan, krisis dukungan, dan krisis identitas.
5.      Partai Demokrat lemah saat ini yaitu disebabkan oleh banyaknya kader Partai Demokrat yang terjerat hukum, membuat citra partai berlambang bintang mercy ini kian menurun. Tidak sedikit petinggi Partai Demokrat terseret dalam kasus korupsi tersebut dan banyaknya petinggi Partai Demokrat yang bermasalah menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat. Penurunan popularitas SBY dan Demokrat juga sudah sangat jelas mempengaruhi pilihan masyarakat.

B.     Saran
1.      Partai Demokrat
a.       Partai Demokrat harus melakukan pembenahan di internal partai khususnya tindakan tegas terhadap kadernya yang bermasalah agar citra Partai Demokrat tidak kian menurun.
b.      Partai Demokrat harus segera mengatasi tiga krisis utamanya yaitu krisis kepemimpinan, krisis dukungan, dan krisis identitas.
c.       Partai Demokrat harus lebih menjaga soliditas partai dan melakukan transformasi ke arah partai modern.
d.      Partai Demokrat harus melakukan ‘bersih-bersih’ partai dengan sekaligus menempuh langkah politik dan upaya hukum.
e.       Partai Demokrat ke depan harus berusaha tidak masuk lebih dalam lagi ke pusaran opini publik yang sudah terlanjur memvonis pada kader-kader Partai Demokrat yang bermasalah.

2.      Masyarakat
Masyarakat harus semakin kritis dalam melihat suatu wacana politik yang terjadi di Indonesia. Setidaknya masyarakat ikut berpartisipasi dalam dunia politik negara ini dan jangan sampai menjatuhkan pilihan kepada partai politik yang belum bisa melaksanakan fungsinya sebagai partai politik.
                                                  
                                                                                                                        



DAFTAR PUSTAKA

Faizal, Akbar. 2005. Partai Demokrat & SBY : Mencari jawab sebuah masa depan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bottomore, Tom. 1992. Sosiologi politik. Jakarta : Rineka Cipta.
Amal, Ichlasul. 1988. Teori-teori mutakhir partai politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
Hamid, A.Farhan. 2008. Partai politik local di Aceh : Desentralisasi Politik dalam Negara kebangsaan. Jakarta : Kemitraan.
Safa'at, Much. Ali. 2011. Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik pembubaran Parta Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta : Rajawali Pers.
Mohammad Atik Fajardin , 2012, Demokrat saat ini ibarat Kapal Titanic. http://nasional.sindonews.com. Diakses tanggal 17 Desember 2012.

Hafidz Muftisany, 2012, Foke Kalah Tanda Kelemahan Demokrat. http://www.republika.co.id . Diakses tanggal 17 Desember 2012.

Sejarah Pembentukan dan Berdirinya Partai Demokrat. http://www.demokrat.or.id/ .Diakses tanggal 19 Desember 2012.

 


                                                                                                                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar