Rabu, 28 Mei 2014

Perubahan Sosial : Tradisi Nitik yang Mulai Terpinggirkan



Analisis dari Kasus Kliping
1.      Intisari Kliping
Masyarakat di beberapa desa di kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mempunyai sebuah tradisi yang disebut nitik. Nitik sejak dari dulu oleh masyarakat Trenggalek bukan hanya sekedar tradisi, tetapi juga sebagai kegiatan yang bertujuan memperoleh pendapatan. Nitik adalah kegiatan memecah batu-batuan yang dilakukan secara tradisional menggunakan alat yaitu martil.
Sekitar 10 tahun yang lalu, warga Trenggalek banyak yang mengandalkan batu-batuan sebagai sumber pendapatan tambahan selain dari hasil pertanian dan pekerjaan yang lainnya. Batu-batuan yang akan dipecah diperoleh dari warga yang lain yang berprofesi sebagai pencari batu atau petambang. Batuan ditambang di wilayah sekitar desa atau di lahan milik warga sendiri. Batuan juga dapat diambil dari sungai.
Batuan hasil nitik memiliki berbagai kegunaan. Dilihat dari ukurannya, batu-batuan yang besar dimanfaatkan misalnya dalam pembuatan tanggul kali atau sungai dan juga dalam pembuatan jalan yaitu sebagai bahan lapisan dasar aspal jalan. Sedangkan batuan yang kecil biasanya digunakan untuk bahan bangunan yaitu sebagai bahan campuran semen atau cor beton.
Nitik biasanya dilakukan oleh kaum perempuan yaitu untuk mengisi waktu senggang saat suami sedang bekerja di sektor publik. Namun, laki-laki juga banyak yang menjadi penitik (sebutan bagi pemecah batu) karena kegiatan memecah batu dianggap memiliki nilai tambah yang lumayan apalagi kegiatan nitik dapat dilakukan saat waktu luang atau sebagai pekerjaan sampingan sehingga tidak mengganggu pekerjaan utama laki-laki. Batuan hasil nitik bisa dijual setiap saat, sehingga sifatnya kontinu. Hal tersebut tentu berbeda dengan sektor pertanian, perkebunan, dan lainnya yang hasilnya tidak tentu, harga barangnyapun naik turun.
  Dengan berkembangnya teknologi yang begitu pesatnya, masuklah mesin pemecah batu. Mesin pemecah batu tersebut tentu lebih canggih dan modern, tidak membutuhkan tenaga manusia karena seluruh batuan dipecahkan menggunakan mesin. Hal tersebut berdampak pada kegiatan nitik masyarakat Trenggalek yang tidak seramai dulu. Karena hasil nitik menggunakan martil secara manual tentu kalah saing dengan mesin pemecah batu. Mesin pemecah batu dapat memecahkan batu-batuan dengan waktu yang tidak terlalu lama, hasilnyapun tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan cara tradisional.
Cara tradisional dianggap tidak efisien, karena jika pembeli membutuhkan batuan maka harus menunggu sampai penitik selesai memecah batuannya. Jika dengan cara tradisional waktu yang dibutuhkan sampai dua minggu, dengan mesin pemecah batu dapat menghasilkan batuan hingga 21 rit per hari. Hasilnya tentu berbeda jauh antara cara tradisional dengan menggunakan alat modern yang canggih.
Selain cara memecah batu yang berubah dari tradisional menjadi modern, cara mencari batu juga berubah. Awalnya masyarakat menggunakan cara tradisional dengan mencari batuan menggunakan serok dari bahan anyaman bambu di wilayah sekitar tempat tinggal mereka atau di sungai, dengan berkembangnya teknologi masyarakat beralih ke cara modern yaitu dengan cara blosting atau menggunakan bahan peledak untuk mengahancurkan batu-batu masif.
Ada beberapa hal lain yang menyebabkan kegiatan nitik di Trenggalek sudah tak seramai dulu. Selain karena perkembangan teknologi dengan masuknya mesin pemecah batu dan blosting, regenerasi dari para penitik sendiri tidak ada. Para penitik usianya sudah tua, tenaganya tentu tidak kuat lagi untuk mengayunkan martil dan memecah batu-batuan. Sedangkan mereka yang masih muda tidak ada yang menggantikan penitik yang sudah tua, mereka lebih senang bekerja di kota atau ke luar negeri sebagai buruh migran.
Dengan tidak adanya regenerasi dan alat-alat serta cara-cara modern yang masuk meggantikan cara tradisional menjadikan tradisi nitik masyarakat Trenggalek, Jawa Timur mulai terpinggirkan. Mesin menggantikan tenaga manusia, cara tradisional atau sederhana tergeser oleh cara yang lebih modern sehingga terjadi perubahan yang tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat Trenggalek

2.      Teori Perubahan Sosial yang Digunakan
Perubahan sosial dapat disebabkan berbagai faktor yang bersifat eksternal maupun internal dalam masyarakat. Faktor internal sendiri salah satunya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi telah membuat tradisi nitik masyarakat Trenggalek mulai terpinggirkan karena banyak warga yang mulai meninggalkan profesi sebagai penitik karena cara tradisional tergeser dengan adanya mesin pemecah batu yang lebih modern dan efisien tentunya.
Untuk menjelaskan kasus tradisi nitik yang mulai terpinggirkan dengan masuknya mesin pemecah batu yang menimbulkan dampak dan perubahan, dipakailah teori perubahan sosial. Banyak ahli yang mengemukakan tentang teori perubahan sosial. Teori perubahan sosial yang digunakan antara lain yaitu teori evolusi (Evolusionary Theory).
Dalam konsep teoritis yang dikemukakan oleh para ahli ini dinyatakan bahwa evolusi memengaruhi cara pengorganisasian masyarakat, utamanya adalah yang berhubungan dengan sistem kerja. Ferdinan Tonnies sendiri melihat bahwa masyarakat berubah dari tingkat peradaban sederhana ke tingkat peradaban yang lebih kompleks.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa terdapat kondisi-kondisi primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Kondisi tersebut bisa merupakan kondisi geografis, ekonomis, teknologis, atau geologis yang dapat menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan sosial lainnya. William Ogburn sendiri lebih menekankan pada aspek kondisi teknologis. Seperti yang terjadi di Trenggalek bahwa tradisi nitik yang bukan hanya sekedar tradisi tetapi juga sebagai bentuk kegiatan ekonomis mulai terpinggirkan dengan masuknya teknologi. Hal tersebut tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kaum evolusioner  memandang perubahan sosial mempunyai arah yang jelas, tetapi berjalan secara bertahap. Perubahan disebabkan oleh persoalan lebih ditekankan pada persoalan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Trenggalek adalah kegiatan nitik yang awalnya dilakukan secara tradisional menggunakan martil berubah menjadi cara modern dengan menggunakan teknologi yang canggih yaitu mesin pemecah batu.
Dalam teori evolusi terdapat tiga macam teori yaitu unilinear, universal, dan multilinear. Unilinier Theories of Evolution sendiri melihat bahwa manusia serta masyarakat juga kebudayaannya mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk kehidupan yang sederhana ke bentuk kehidupan yang modern (kompleks).
Sedangkan dalam teori neo-evolusi, Sahlin dan Service mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mengalami evolusi tahap lanjut memiliki ciri-ciri yaitu cara masyarakat mengeksploitasi lingkungan lebih efisien dan variatif, lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan cenderung mendominasi dan menggantikan tipe masyarakat yang kurang maju. Pada masyarakat Trenggalek dimana mereka yang sudah mulai menggunakan teknologi dalam mengeksploitasi alam lebih efisien menggunakan mesin pemecah batu. Mereka akan lebih mendominasi dan menggantikan penitik yang masih menggunakan cara tradisional, karena konsumen sendiri pasti akan memilih cara yang cepat.

3.      Analisis Kasus
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan sosial tersebut tak selamanya berarti kemajuan, perubahan tersebut dapat berarti kemunduran. Kehidupan sosial sendiri selalu dinamis. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa masalah jangka waktu dan persepsi tentang perubahan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, di dalam pengalaman manusia (1983 : 38).
Perubahan sosial menurut Hans Garth dan C. Wright Mills didefinisikan sebagai apa pun yang terjadi (kemunculan, perkembangan, dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap peran, lembaga, atau tatanan yang meliputi struktur sosial (Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011 : 610). Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial merupakan segala sesuatu yang terjadi, bukan hanya muncul dan berkembang tetapi juga kemunduran yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.  Masyarakat desa sendiri memiliki ciri-ciri yaitu warga masyarakatnya yang memiliki hubungan yang erat, hidup di pedesaan, sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan, dan lain sebagainya.
Perubahan sosial dapat dipengaruhi berbagai faktor baik dari dalam maupun luar masyarakat sendiri. Faktor internal masyarakat misalnya perubahan pada kondisi sosial, ekonomi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Selo Soemardjan sumber perubahan sosial meliputi faktor biologi, teknologi, dan ideologi. Tradisi masyarakat Trenggalek yaitu nitik mulai terpinggirkan dengan datangnya teknologi. Dalam melihat kasus tersebut, dapat dilihat bahwa sumber perubahan sosialnya adalah teknologi.
Penemuan-penemuan teknologi telah menyebabkan perubahan sosial yang sangat luas dalam masyarakat. Teknologi dapat mempengaruhi setiap aktivitas, tindakan, serta perilaku manusia. Apalagi dengan adanya globalisasi yang telah merubah wajah dunia dimana sekat diantara negara-negara seolah hilang, duniapun seolah menjadi tanpa batas. Ternyata arus globalisasi tidak luput menghampiri masyarakat, tak terkecuali pada masyarakat pedesaan yang sering dilukiskan sebagai masyarakat yang masih tradisional. Perkembangan teknologi begitu pesat, terjadi pula modernisasi. Menurut Dr Phil. Astrid S. Susanto modernisasi yang merupakan suatu perubahan total dari suatu masyarakat dalam keadaan tradisional menuju suatu masyarakat yang “maju” (1983 : 180). Jadi, modernisasi dapat berarti perubahan dari tradisional menjadi lebih modern.
Yang menjadi fokus perhatian adalah masuknya teknologi dan inovasi-inovasi yang tidak hanya memberikan dampak positif melainkan juga memberikan dampak negatif. Sudah berpuluh-puluh tahun kegiatan memecah batu-batuan masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Trenggalek menggunakan martil. Namun dengan datangnya mesin pemecah batu, tradisi nitik (memecah batu secara tradisional) mulai ditinggalkan dan tidak seramai dulu. Masyarakat beralih pada mesin pemecah batu yang dianggap lebih mudah, lebih cepat, dan lebih praktis. Daerah di Trenggalek yang masih banyak penitik adalah Sawahan dan Margomulyo yang wilayahnya jauh ke selatan.
Tradisi nitik bisa dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Namun, karena laki-laki biasanya bekerja sehingga nitik biasanya dilakukan kaum perempuan untuk mengisi waktu luang. Tujuannya tentu untuk mencari tambahan pendapatan. Nitik dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan usaha di sektor perkebunan, pertanian, dan lain sebagainya. Dimana sektor pertanian atau perkebunan hasil yang didapatkan tidak tentu dan harganyapun naik turun.
Kaum laki-laki ternyata juga menjadi penitik namun kebanyakan bukan menjadi sumber pendapatan utama melainkan sebagai pekerjaan sampingan. Contohnya adalah Mubin yang menjabat sebagai perangkat desa. Pada hari kerja, Mubin nitik sejak pukul 06.00-08.00 dan melanjutkan nitik sepulang kerja pukul 13.00-16.00.
Tradisi nitik tersebut mulai terpinggirkan dengan masuknya teknologi sehingga mengganti tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Perubahan yang terjadi adalah masyarakat yang biasanya cukup menggunakan martil untuk memecah batu kini berubah menggunakan mesin pemecah batu. Cara masyarakat yang tradisional berubah menjadi cara yang lebih modern. Hal tersebut tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat, dimana tradisi nitik mulai terpinggirkan karena pola pikir masyarakat akan lebih profit oriented. Tidak adanya regenerasi yang melanjutkan para penitik yang sudah tua karena hasil nitik dengan cara tradisional tentu  tertinggal jauh dengan memecah batu dengan mesin. Selain itu, generasi muda akan lebih memilih pekerjaan yang menghasilkan rupiah lebih banyak dibandingkan dengan nitik, mereka merantau bekerja di kota atau di luar negeri sehingga terjadi urbanisasi.
Hasil memecah batu secara manual dengan menggunakan martil tentu memakan waktu dan tenaga, satu rit bisa dihasilkan selama berhari-hari. Berbeda jauh dengan menggunakan mesin pemecah batu yang seharinya dapat menghasilkan 21 rit. Konsumen yang membutuhkan batu tentu akan memilih cara yang cepat. Saat mereka membutuhkan mereka hanya tinggal menghubungi pedagang. Dalam waktu singkat batu sudah sampai, tetapi jika menggunakan cara tradisional tentu konsumen harus menunggu lama sampai penitik selesai memecahkan batuan sesuai pesanan. Maka masyarakat akan kehilangan tambahan pendapatannya sekaligus tradisi mereka yang telah berpuluh-puluh tahun akan mulai terpinggirkan dengan masuknya teknologi yang modern. Mereka yang masih bertahan dengan cara tradisional akan sulit bersaing dengan mereka yang mampu membeli mesin.
Perubahan bukan hanya terjadi pada cara memecah batu, cara mencari batu juga berubah. Awalnya warga mencari batu secara tradisional menggunakan serok yang terbuat dari anyaman bambu, sekarang saat teknologi masuk warga masyarakat lebih memilih mencari dengan cara yang modern yaitu dengan menggunakan bahan peledak atau blasting untuk menghancurkan batu-batu yang masif. Mencari batu menggunakan serok tentu sangat tidak efisien, sedangkan dengan menggunakan blasting maka pekerjaan mencari batu dianggap lebih mudah dan cepat.
Masyarakat yang nitik dulunya memperoleh batuan dari warga yang berprofesi sebagai pencari batu. Namun sekarang mungkin masyarakat memilih mencari sendiri dengan menggunakan blasting yang tentunya lebih mudah. Selain itu, memecah batu sudah menggunakan mesin sehingga semuanya dapat dilakukan sendiri dengan cara yang lebih efisien. Masyarakat Trenggalek yang sudah variatif dan efisien dalam mengeksploitasi akan lebih mendominasi dan menggantikan para penitik yang masih menggunakan cara tradisional. Hasil dari memecah batu dengan mesin tentu jauh lebih besar jika dibandingkan memecah batu secara manual dengan martil, atas pertimbangan ekonomis tersebutlah masyarakat beralih dari martil ke mesin.
Masyarakat sangat terbuka pada hal-hal baru, seperti masuknya teknologi mesin dan blasting yang menjanjikan kecepatan, kemudahan, kemajuan, dan peningkatan produktivitas. Sikap masyarakat yang terbuka ditandai dengan sikap menerima sehingga memudahkan proses perubahan itu sendiri. Masyarakat memakai mesin dan menggunakan blasting untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Memang tidak semua masyarakat Trenggalek memakai mesin dan blasting, terbukti dengan masih adanya para penitik yang masih bertahan dengan martilnya. Tetapi tentu kehadiran teknologi sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehingga tradisi yang sudah bertahan berpuluh-puluh tahun perlahan-lahan akan semakin terpinggirkan. Apalagi dengan tidak adanya regenerasi akan memungkinkan tradisi tersebut hilang dan punah seiring perkembangan zaman.
Teknologi memang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi yang perlu kita ingat bahwa teknologi selalu berwajah ganda, teknologi selalu bermuka dua. Teknologi dapat menjadi teman, namun teknologi dapat menjadi lawan. Aktivitas manusia banyak terbantu dengan adanya teknologi, namun tidak sedikit pula aktivitas manusia yang terusik dengan adanya teknologi.
Dapat disimpulkan bahwa dengan datangnya teknologi dalam kegiatan memecah batu atau nitik pada masyarakat Trenggalek yaitu masuknya mesin pemecah batu dan blasting telah menyebabkan banyak perubahan. Perubahan tersebut antara lain cara tradisional yang tergantikan dengan adanya cara modern, sistem ekonomi yang awalnya sistem ekonomi keluarga berubah menjadi sistem ekonomi uang, terjadinya urbanisasi sehingga tidak adanya regenerasi para penitik. Tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin, tradisi nitik yang sudah lama ada terancam punah dengan masuknya mesin. Penitik tradisional sulit bersaing dengan mereka yang sudah menggunakan teknologi modern. Para penitik pun kehilangan sumber pendapatan mereka. Sistem kekeluargaan yang dibangun yaitu saat penitik mendapatkan batuan dari para warga lain yang berprofesi menjadi pencari batu seolah hilang dengan adanya teknologi.

DAFTAR PUSTAKA
M. Setiadi, Elly., Usman Kolip. 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), Cetakan ke-2, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Cetakan ke-1, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2009, Sosiologi : Suatu Pengantar, Edisi Baru, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Susanto, Astrid S. 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Cetakan ke-4, Penerbit Bina Cipta, Jakarta.

SOSIOLOGI AGAMA



ANALISIS FILM “?”
Film mampu menggambarkan berbagai cerita dan berbagai masalah-masalah sosial seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Film “?” karya Hanung Bramantyo yang tayang tahun 2011 lalu ini mencoba menampilkan tentang makna toleransi dalam beragama dan bagaimana masyarakat menghadapi perbedaan. Film ini berlatar di Semarang, menceritakan kehidupan sosial yang penuh dengan keanekaragaman dan perbedaan lengkap dengan konflik-konflik yang beragam pula.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas adalah negara yang penuh keanekaragaman. Rakyatnya yang beragam, multikultur, bersuku-suku, semakin menambah keindahan kekayaan Indonesia bukan dari segi alam saja tapi juga kebudayaannya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menyatakan meskipun masyarakat Indonesia terkotak-kotak dalam perbedaan tetapi ada satu yang akan tetap menyatukan perbedaan tersebut yaitu Indonesia.
Film “?” memiliki pesan yang ingin disampaikan yaitu tentang toleransi, indahnya perbedaan, dan pentingnya hidup rukun dalam keberagaman. Akan tetapi, perbedaan juga dapat memicu konflik. Aliran teori konflik memandang konflik sosial sebagai suatu kekuatan sosial dari perkembangan masyarakat yang menginginkan kemajuan. Dalam film “?” dipenuhi konflik-konflik sosial dan agama seperti karena perbedaan etnis atau ras dan agama. Dalam sebuah adegan dimana tokoh Hendra, seorang keturunan Cina berpapasan dengan remaja masjid timbullah konflik yang pangkal sebenarnya adalah perbedaan ras dan agama, konflik tersebut dilerai oleh seorang ustadz. Pesan toleransi yang disampaikan adalah berbuat adil, tidak berat sebelah, dan tidak memihak Hendra ataupun remaja masjid.
Konflik dalam film “?” dibalut juga dengan konflik pribadi contohnya saat Hendra dan Soleh berkelahi. Selain berbeda etnis dan agama, Hendra dan Soleh berkelahi karena adanya rasa cemburu karena Menuk (istri Soleh) adalah mantan kekasih Hendra. Hendra sendiri masih belum menerima jika Menuk menjadi istri Soleh. Konflik dalam keluarga juga terjadi pada Soleh dan Menuk, Soleh sebagai kepala keluarga menjadi pengangguran, Menuklah yang bekerja di restoran. Konflik lain saat Soleh dan warga yang lain merusak restoran yang buka di hari lebaran kedua dan menyebabkan pemilik restoran meninggal. Konflik batin juga dialami tokoh Surya sebagai pemain figuran, ia sebagai seorang muslim harus berperan sebagai Yesus dan Santa, namun ia menjunjung tinggi profesionalitas dan tetap memegang teguh imannya saat bermain. Konflik-konflik yang terjadi dapat menimbulkan perubahan contohnya Hendra yang menjadi muallaf dan memperbarui restoran ayahnya dengan mengganti nama Canton menjadi Barokah serta ditambah kata halal.
Sikap toleransi yang luar biasa tergambar juga dari Tan Kat Sun, seorang konghucu pemilik restoran Canton Chinese Food yang mempekerjakan pegawai islam dan sangat menghormati dengan cara membedakan peralatan masak untuk masakan yang halal dan tidak halal bagi umat islam. Ia bahkan mengingatkan pekerjanya untuk sholat, menutup tirai restoran dan tidak berjualan babi saat bulan puasa, serta memberikan libur yang cukup saat hari raya idul fitri bagi para pekerjanya.
Rika yang dipoligami oleh suaminya dan memilih menjadi janda serta anaknya Abi, meskipun Rika murtad, namun ia tetap memberikan kebebasan kepada anaknya untuk tetap memeluk islam, Rika juga membagi-bagikan bantuan kepada anak yatim dalam acara khataman Qur’an Abi. Orang tua Rikapun datang menampilkan sikap menerima. Selain itu, terdapat Banser NU (Nahdatul Ulama) sebuah ormas islam terbesar dimana mereka menjaga gereja saat perayaan paskah atau Jum’at agung dan natal. Soleh yang menjadi anggota Banser Nu juga rela mati dengan membawa keluar bom yang ditaruh di dalam gereja.
            Film “?” menuai pujian karena memberikan suatu pelajaran tentang bagaimana kita bersikap dalam masyarakat yang penuh perbedaan dan penggambaran semangat Bhinneka Tunggal Ika yang luar biasa. Tidak sedikit yang kontra dengan mengatakan aroma pluralisme agama sangat menyengat dalam film ini, penggambaran sikap toleransi juga menuai berbagai kritikan. Sikap-sikap toleransi yang positif sudah baik, namun dianggap ada yang kurang memperhatikan aturan agama. Contohnya saat Surya menjadi Santa dan berperan sebagai Yesus yang sebenarnya ia adalah seorang muslim. Terdapat aturan dalam agama islam bahwa seorang muslim dilarang menyerupai umat agama lain, baik bergaya, bertindak, atau beradegan menyerupai hal-hal yang berhubungan dengan agama lain. Selain itu, tindakan Rika yang murtad, terdapat ungkapan seolah Rika merasa bangga karena pindah agama sehingga muncul wacana bahwa adegan ini telah mencederai ajaran agama.
            Terlepas dari kritikan-kritikan yang muncul, film “?” adalah film yang menarik. Film ini mampu menggambarkan kehidupan sosial di masyarakat Indonesia sesungguhnya. Adegan-adegan didalamnya mengandung pesan moral dan sarat akan makna toleransi. Digambarkan bahwa dengan toleransi kehidupan antar agama dan etnis akan tercipta kedamaian, namun ketidaktoleran dapat meluluhlantahkan kedamaian tersebut.
Nilai dari sebuah perbedaan adalah sangat berharga. Berbeda bukanlah sesuatu yang salah, berbeda bukanlah sesuatu yang haram, namun berbeda bukan berarti dibeda-bedakan. Kita sebenarnya sedang ditantang untuk dapat bersikap dan berfikir dewasa dalam hidup di tengah masyarakat yang plural, masyarakat yang penuh perbedaan. Perbedaan harus dihargai namun harus dijaga dalam masyarakat Indonesia yang beragam dan hidup berdampingan.

Emile Durkheim : Sosiolog Moralitas



FENOMENA BUNUH DIRI DAN PENDIDIKAN MORAL DALAM KACA MATA SEORANG SOSIOLOG MORALITAS EMILE DURKHEIM
            Bunuh diri (Suicide) merupakan karya Durkheim yang sangat terkenal. Karya Durkheim yang satu ini berisi tentang studi Durkheim terhadap suatu fenomena yang bukanlah hal baru dalam masyarakat yaitu bunuh diri. Suicide berhasil menunjukkan kekuatan dan eksistensi dari disiplin sosiologi. Durkheim juga mampu menjelaskan fenomena bunuh diri serta mematahkan berbagai perspektif ilmu alam (natural science) dalam mengungkap masalah-masalah sosial seperti bunuh diri.
            Saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai moral dalam masyarakat. Lantas kasus bom bunuh diri yang marak terjadi di Indonesia dengan mengatasnamakan agama dan jihad, serta harakiri dan kasus pelajar yang bunuh diri karena terlalu dikekang orang tua, apakah disebabkan karena faktor psikologis, faktor biologis, atau sebab lainnya serta bagaimana upaya seharusnya dilakukan untuk menjaga kesehatan moral masyarakat. Disinilah Durkheim memperlihatkan kekuatan disiplin sosiologi dalam menganalisi fenomena bunuh diri yang marak terjadi di masyarakat.
            Menurut perspektif psikologis, seseorang melakukan bunuh diri karena banyak hal menyangkut mental atau psikis orang tersebut. Misalnya karena stres atau depresi atau frustasi, sakit jiwa, dan idiot. Bunuh diri tidak akan dilakukan oleh orang yang sehat jiwanya. Sedangkan menurut perspektif biologis, bunuh diri dianggap fenomena yang berhubungan dengan turun temurunnya gen, sehingga membawa kecenderungan bunuh diri tersebut. Durkheim mematahkan satu persatu berbagai pendapat atau faktor-faktor alamiah dengan cara menganalisis fenomena bunuh diri tersebut dengan pendekatan fakta sosial. Penelitian Emile Durkheim tentang fakta sosial dalam hal suicide rate ini terkenal dan begitu memperlihatkan eksistensi dan kekuatan sosiologi dalam mengkaji berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud pendekatan fakta sosial yang digunakan oleh Durkheim dalam menggempur berbagai perspektif seperti psikologis dan biologis.
Fakta Sosial
            Terlebih dahulu kita mengenal dan memahami mengenai fakta sosial yang dikemukakan oleh sang sosiolog moralitas, Emile Durkheim. Pemikiran Durkheim mengenai fakta sosial tertuang dalam The Rules of Sociological Method. Menurut Durkheim, fakta sosial adalah kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak dan berfikir, serta merasakan yang berasal dari masayarakat. Dari pengertian inilah terlihat bahwa Durkheim memiliki pandangan yang berbeda dimana umumnya masyarakat dalam melihat fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari disebabkan oleh individu. Tetapi Durkheim lebih mengutamakan sosial daripada individu. Fakta sosial sendiri memiliki sifat atau karakteristik tertentu. Fakta sosial haruslah bersifat eksternal bukan dorongan internal pada individu artinya berada di luar individu, umum, dan memaksa individu sehingga individu terlepas dari kemauan-kemauannya sendiri.
            Contoh fakta sosial dalam kehidupan sehari-hari misalnya semua siswa dan siswi dalam sekolah harus memakai seragam, datang ke sekolah tepat waktu, absen. Hal-hal tersebut terdapat dalam aturan dan tata tertib sekolah, yang jika dilanggar akan mendapatkan sanksi tertentu. Dari contoh tersebut terlihat bahwa aturan tentang memakai seragam, absen, datang tepat waktu berasal dari luar individu yaitu berasal dari aturan di sekolah. Aturan tersebut memaksa individu yaitu siswa. Dengan adanya aturan tersebut, maka siswa dan siswi di sekolah dipaksa untuk mengikuti aturan tentang memakai seragam, absen, datang tepat waktu karena jika hal tersebut dilanggar akan ada sanksi tersendiri. Dengan adanya absen, siswa dan siswi juga dipaksa untuk menghadiri kegiatan belajar mengajar. Aturan-aturan tersebut berlaku umum bagi siswa siswi yang bersekolah.
            Durkheim membagi fakta sosial menjadi fakta sosial material dan nonmaterial. Fakta sosial material adalah sesuatu yang dapat disimak atau diamati secara langsung. Contohnya adalah bentuk teknologi, hukum, dan perundang-undangan. Hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat, memiliki tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Misalnya terdapat sebuah aturan atau undang-undang menyebutkan bahwa setiap pengguna sepeda motor diwajibkan memakai helm yang memenuhi standar. Hal tersebut memiliki tujuan agar terciptanya masyarakat yang aman dan tertib dalam berlalu lintas. Aturan tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang berkendara menggunakan sepeda motor, berasal dari luar individu yaitu dari sebuah undang-undang  yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan memaksa individu dimana akan ada sanksi bagi yang melanggar.
            Fakta sosial nonmaterial sendiri adalah sesuatu atau fenomena yang muncul dari dalam kesadaran manusia. Dalam fakta sosial material sering mencerminkan kekuatan moral yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial. Contoh fakta sosial nonmaterial adalah norma, nilai, budaya atau kultur. Individu tidak bisa bertindak semau mereka sendiri karena terdapat norma yang mengatur tentang cara berperilaku yang diajarkan oleh orang tua, atau sekolah. Nilai sendiri merupakan sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam masyarakat, sifatnya abstrak. Misalnya, mencontek dianggap buruk sedangkan jujur dianggap baik.
Bunuh diri
            Studi Durkheim tentang bunuh diri dalam Suicide adalah usaha Durkheim untuk menjelaskan fenomena bunuh diri dalam masyarakat menggunakan data kuantitatif yaitu dengan suicide rate. Bukan alasan mengapa individu melakukan bunuh diri, melainkan mengapa angka bunuh diri dari satu masyarakat berbeda (lebih tinggi atau lebih rendah) bila dibandingkan dengan masyarakat yang lain. Iapun membedakan bunuh diri menjadi empat tipe yaitu bunuh diri egoistis, bunuh diri altruistis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistis.
            Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang disebabkan karena integrasi yang rendah dimana masyarakat yang didalamnya terdapat individu yang tidak berhubungan baik. Contohnya angka bunuh diri orang yang tidak memiliki atau belum berkeluarga lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki keluarga. Mereka yang tinggal sendiri, mereka yang berpisah atau bercerai memiliki kemungkinan melakukan bunuh diri dikarenakan kurangnya integrasi dalam keluarga. Sedangkan dalam bidang agama, kaum protestan memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dibanding dengan orang-orang penganut katholik. Hal tersebut terjadi karena ajaran agama protestan lebih menitikberatkan keimanan individual, sehingga tingkat integrasinyapun rendah.
            Bunuh diri yang kedua adalah bunuh diri altruistis. Bunuh diri altruistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egositis dimana bunuh diri terjadi karena integrasi yang kuat atau tinggi. Contohnya para teroris yang melakukan bom bunuh diri dimana mereka tergabung dalam suatu kelompok yang integrasinya kuat sehingga individu-individu didalamnya rela mati bunuh diri. Mereka menganggap bunuh diri adalah tugas mereka sebagai pengikut kelompok tersebut tujuannya adalah demi kebaikan yang lebih besar.
            Bunuh diri altruistis dibedakan menjadi dua yaitu obligatory dan optional. Obligatory adalah bunuh diri yang terjadi karena seseorang berkeyakinan bahwa bunuh diri merupakan suatu kewajiban. Contohnya pada masyarakat India Kuno terdapat suatu tradisi yang disebut Suttee dimana seorang istri membakar diri ke dalam api pembakaran jenazah suaminya. Hal tersebut dianggap sudah kewajiban seorang istri terhadap suaminya yang berarti integrasi antara keduanya adalah tinggi atau kuat. Sedangkan optional merupakan bunuh diri yang bertujuan untuk memperoleh penghargaan. Contohnya pada masyarakat Jepang dimana terdapat suatu tradisi yaitu harakiri atau di Jepang dikenal dengan istilan Seppuku. Harakiri dilakukan misalnya oleh seorang samurai atau militer yang dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya, atau saat mereka tertangkap musuh karena mereka beranggapan bahwa lebih baik mati bunuh diri daripada ditangkap dan disiksa oleh musuh. Harakiri dianggap terhormat karena mereka yang melakukan harakiri berarti mereka memiliki keberanian yang luar biasa. Alasan lain seseorang melakukan harakiri adalah tidak bisa menahan malu baik karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik maupun malu karena memang telah melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Di Indonesia terdapat tradisi Carok yang merupakan tradisi orang Madura dalam mempertahankan kehormatan atau harga diri dengan cara bertarung menggunakan senjata yaitu celurit. Carok bisa dipicu karena perebutan kekuasaan, konflik turun menurun, perselingkuhan, perebutan tanah, dendam, dan lain sebagainya.
            Selanjutnya adalah bunuh diri anomik. Bunuh diri anomik disebabkan karena regulasi yang rendah atau tidak jelas. Norma dan kontrol dalam masyarakat lemah, misalnya saat terjadi krisis di bidang ekonomi. Krisis di bidang ekonomi berarti terjadi sebuah perubahan sosial yang cukup drastis mengakibatkan lemahnya atau tidak jelasnya norma-norma yang mengatur dalam masyarakat. Individu bunuh diri karena tidak bisa menghadapi perubahan yang drastis tersebut selain itu faktor lingkungan yang penuh dengan tekanan menjadikan individu stres, depresi, atau frustasi yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri.
            Tipe bunuh diri yang terakhir adalah bunuh diri fatalistis. Bunuh diri fatalistis merupakan kebalikan dari bunuh diri anomik yaitu justru disebabkan karena norma yang mengatur terlalu kuat (regulasi terlampau kuat). Contohnya terjadi pada budak yang bunuh diri karena hidupnya dikekang dan diatur oleh majikannya. Contoh lain adalah kasus seorang anak yang bunuh diri karena disiplin yang ketat dan aturan yang begitu mengekang dari orang tua yang terlalu mengontrol atau over protective. Misalnya orang tua yang menuntut anaknya untuk menjadi anak yang pintar atau terbaik di sekolahnya sehingga anaknya diperintahkan untuk belajar dan belajar, dilarang bermain, mengikuti les-les, semua kegiatannya diatur oleh orang tuanya dan anak harus menuruti apa yang diinginkan orang tuanya. Keinginan orang tuanya mungkin berseberangan dengan keinginan sang anak, dan ketika sang anak terpaksa mengikuti aturan orang tuanya bisa jadi dia tidak siap atau tidak mampu menjalankan apa yang diperintahkan orang tuanya.
            Berdasarkan penjelasan diatas, Durkheim dengan fakta sosialnya berhasil mematahkan perspektif atau pandangan baik psikologis maupun biologis dengan menggunakan pendekatan fakta sosial. Dalam perspektif psikologis menyebutkan bahwa seseorang yang bunuh diri disebabkan oleh keadaan orang tersebut yang sakit jiwa, stres, dan idiot. Akan tetapi, menurut Durkheim indikasi kegilaan dan stress lebih disebabkan karena integrasi individu dengan kelompok atau komunitasnya yang lemah. Individu merasa bahwa dia bukanlah bagian dari masyarakat. Sedangkan, faktor biologis menyebutkan bahwa bunuh diri terkait dengan turun-temurunnya gen, yang membawa kecendrungan bunuh diri tersebut. Sebagai contoh di Jerman yang dianggap memiliki angka bunuh diri yang tinggi. Durkheim memiliki cara pandang yang berbeda bahwa penyebab bunuh diri di Jerman lebih karena faktor yang terdapat dalam kehidupan sosial seperti agama, status sosial, masyarakat rural urban, dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa baik kasus bom bunuh diri (bunuh diri altruitik) maupun harakiri (bunuh diri altruistik, optional) bukanlah disebabkan faktor psikologis atau biologis, melainkan karena ada faktor dalam kehidupan sosial yaitu karena integrasi dalam kelompok yang terlampau kuat atau integrasi kuat. Serta pelajar yang bunuh diri karena orang tua yang over protective disebabkan karena regulasi yang terlampau kuat. Durkheim dengan kecermelangannya mampu menunjukkan betapa sosiologi memiliki kekuatan dan eksistensi.
Moral Education
            Seperti telah diketahui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai moral dalam masyarakat. Kasus bunuh diri menjadi marak baik dilakukan orang tua, muda, kaya miskin, pelajar, dan lain sebagainya. Kacaunya tatanan sosial yang cenderung tanpa moralitas, yang mendorong seseorang menjadikan bunuh diri sebagai pilihan terbaik. Durkheim adalah seorang sosiolog yang menempatkan moralitas sebagai kajian utama dalam hidupnya. Menurut Durkheim, moralitas haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan-keinginan individu atau subyektif. Ia menekankan pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi yang bermoral dan pendidikan dalam hal ini sekolah dianggap sebagai jalur yang tepat dalam membentuk pribadi-pribadi yang dididik agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Durkheim menerapkan program pendidikan moral pada anak-anak dengan pengajaran disiplin, keterikatan dengan masyarakat, dan kemandirian.
Pendidikan moral diberikan di lembaga pendidikan contohnya di sekolah. Sekolah merupakan lembaga yang penting bagi perkembangan moral anak. Di sekolah seorang anak di beri pendidikan moral misalnya melalui penanaman disiplin. Di sekolah terdapat sejumlah tata tertib dan peraturan, individu akan menyadari bahwa ia diwajibkan untuk mematuhi tata tertib dan aturan tersebut. Pendidikan moral dalam sekolah juga dilakukan misalnya dengan adanya pendidikan moral Pancasila atau pendidikan kewarganegaraan. Pancasila sebagai pedoman hidup serta dasar negara dijadikan dasar penentu pendidikan moral di Indonesia. Untuk itu diharapkan setiap individu baik sikap dan perilakunya harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut. Prose internalisasi nilai-nilai pancasila dapat ditempuh lewat jalan pendidikan sebagai sarana mewujudkan pribadi yang dijiwai nilai-nilai luhur pancasila.
Ada juga pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran dalam sekolah yang memiliki visi utama yaitu pendidikan nilai demokrasi, pendidikan sosial, pendidikan moral, dan pendidikan politik. Dan yang dianggap paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan moral. Nilai-nilai itu tentunya bukan hanya untuk diketahui, dimengerti, difahami dan dihayati akan tetapi juga harus dilaksanakan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.