Rabu, 28 Mei 2014

TEORI KONFLIK DAHRENDORF, COSER, COLLINS



TEORI KONFLIK
A.      Pengantar
Manusia tak selamanya hidup dalam keadaan dan situasi yang harmonis tanpa adanya ketegangan atau konflik. Konflik akan selalu ada dalam kehidupan masyarakat, kapanpun dan dimanapun konflik dapat muncul. Dalam kehidupan masyarakat antara orang yang satu dengan orang yang lain tak satupun yang memiliki kesamaan yang persis, dalam artian pasti memiliki perbedaan. Masing-masing lahir, disosialisasikan, dan memiliki sejarah sendiri-sendiri.
Konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu con yang artinya bersama dan fligere yang artinya tabrakan atau benturan. Jadi, konflik sosial berarti benturan atau tabrakan yang terjadi setidaknya antara dua pihak atau lebih baik benturan keinginan, pendapat, kepentingan, dan lain sebagainya. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa tak seorangpun dalam masyarakat yang memiliki persamaan yang persis. Diantara mereka akan ada perbedaan yang dapat berupa perbedaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Kepentingan, kemauan, tujuan, kehendak manusiapun berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menimbulkan konflik dan ketegangan. Konflik dapat bersifat positif dan negatif tergantung bagaimana masyarakat menyikapi konflik itu sendiri. Jadi, yang terpenting adalah bukan cara menghilangkan perbedaan dan konflik, akan tetapi bagaimana kita menyikapi dan menyelesaikannya.
Teori konflik sendiri merupakan salah satu perspektif dalam teori sosiologi yang memandang masyarakat yang baik dan sehat adalah masyarakat yang terdapat konflik didalamnya. Masyarakat terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh klasik teori konflik yaitu Karl Marx dan Max Weber, sedangkan yang akan dibahas adalah fenomena konflik dilihat berdasarkan teori konflik dari tokoh-tokoh seperti Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randal Collins.
B.      Permasalahan/Rumusan Masalah
Bagaimanakah konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat jika dilihat dari perspektif teori konflik ?

C.      Pembahasan
1.      Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural. Menurut Dahrendorf, jika fungsionalisme struktural memandang masyarakat selalu dalam kondisi yang seimbang, teratur, dan statis maka berbeda dengan teori konflik yang memandang masyarakat itu dinamis dan penuh konflik (Ritzer, 2008 : 282). Jadi, teori konflik menjelaskan apa yang telah diabaikan oleh fungsionalisme struktural yaitu tentang konflik dan perubahan. Memang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak selamanya harmonis dan selalu dalam keadaan equilibrium, ada konflik baik antar indivudu, antarkelompok, maupun individu dengan kelompok.
Teori konflik Dahrendorf ini mengkritik teori Marx yaitu tentang masyarakat tanpa kelas yang dianggap tidak dapat diuji dan diverifikasi karena dalam kehidupan sosial masyarakat tanpa kelas tidak pernah ada. Selain itu, terjadi perubahan dalam kapitalisme. Pertama, dekomposisi kapital yaitu ada semacam penggolongan dalam kelas borjuis, contohnya dalam perusahaan ada pemilik saham dan ada manajer perusahaan. Kedua, dekomposisi buruh atau pekerja yaitu kaum buruh tidak lagi bersifat homogen namun heterogen ada yang mempunyai keterampilan, ada yang tidak, dan ada yang berketerampilan semi. Ketiga, adanya new middle class yaitu masyarakat menengah baru. Keempat, mobilitas sosial yang meningkat. Kelima, hak-hak politik warga negara yang diperbaiki. Keenam, adanya pelembagaan konflik kelas contohnya seperti pengakuan hak-hak buruh untuk mogok kerja.
Dahrendorf sendiri tidak jelas dalam posisi teoritisnya. Menurut Dahrendorf, teorinya adalah modifikasi teori Marx (Poloma, 1987 : 131). Jadi, ketidakjelasan tersebut apakah posisi teoritisnya Marxian atau bukan, karena teorinya setengah penolakan dan setengah penerimaan.
Dahrendorf menganggap masyarakat memiliki wajah ganda yaitu konsensus dan konflik, keduanya dapat dibedakan namun tidak mungkin dipisahkan. Tidak ada konflik jika sebelumnya tidak terjadi konsensus. Contohnya dua orang yang berkonflik sebelumnya pasti telah berinteraksi, dua orang tersebut tidak akan berkonflik jika sebelumnya tidak ada kontak diantara mereka.
Dalam masyarakat terdapat asosiasi-asosiasi seperti partai, industri, negara dan lain-lain. Dahrendorf membagi dua kelas dalam setiap asosiasi yaitu kelas yang memiliki otoritas dan tidak memiliki otoritas. Otoritas atau kewenangan merupakan hak yang sah untuk memerintah orang lain. Otoritas melekat pada jabatan dan posisi, bukan pada diri individu. Contohnya Joko Widodo sebagai gubernur DKI Jakarta memerintah para pegawai di lingkungan pemprov DKI. Bukan seorang Jokowi yang memerintah, tetapi jabatannya sebagai gubernurlah yang memerintah. Otoritas tersebut melekat pada jabatan gubernurnya bukan pada diri individu yaitu Jokowi. Jika Jokowi tidak menjabat sebagai gubernur maka ia tidak berwenang untuk memerintah, yang berwenang adalah gubernur. Jadi, jabatan gubernurlah yang membuat Jokowi berwenang.
Konflik dapat muncul karena distribusi kewenangan yang tidak merata. Ada mereka yang memiliki kewenangan dan tidak, konflik akan timbul karena dua kelas tersebut memiliki kepentingan yang berbeda. Mereka yang memiliki kewenangan akan berusaha mempertahankan kewenangannya dan tetap dominan. Sedangkan mereka yang tidak memiliki kewenangan akan berusaha membuat perubahan dengan cara menentang dan berjuang mengubah ketidakwenangannya menjadi berwenang.
Dahrendorf juga mengemukakan adanya kelompok semu, kelompok manifes, kelompok kepentingan, kepentingan semu, kepentingan manifes. Kelompok semu merupakan kelompok dengan kepentingan semu atau laten. Saat kelompok semu tersebut mengembangkan kesadarannya menjadi kelompok manifes. Kelompok kepentingan atau interest groups melakukan perlawanan untuk memperjuangkan kepentingannya.
Contoh situasi konflik saat pemerintah mengubah pasar tradisional dengan membangun pasar yang lebih modern dan merelokasi pedagang pasar tradisional. Sesuai teori Dahrendorf, terdapat dua kelas yaitu kelompok yang tidak memiliki kewenangan, dalam hal ini para pedagang pasar dan kelompok yang memiliki otoritas yaitu pemerintah. Terjadi konflik dimana para pedagang menolak rencana pemerintah tentang pasar modern karena berbagai alasan. Awalnya mungkin hanya sebagian kecil pedagang yang merasa kebijakan tersebut kurang adil, namun kemudian para pedagang bersatu dan ada juga Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan dengan cara demonstrasi. Dengan adanya demostrasi tersebut maka pemerintah dan para pedagang melakukan perundingan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
2.      Teori Konflik Lewis Coser
Konflik sering dianggap sebagai penyebab perubahan sosial. Lewis Coser memiliki pendapat yang berbeda bahwa konflik tak sepenuhnya negatif. Konflik dapat menimbulkan ketidakstabilan dan atau kehancuran, akan tetapi di sisi lain terdapat fungsi dari konflik sosial tersebut.
Konflik memiliki beberapa fungsi positif. Menurut Poloma, fungsi positif tersebut terlihat pada kelompok yang sedang berkonflik dengan kelompok lain (1987 : 108). Jadi, fungsi konflik dalam kehidupan sosial dapat dilihat pada konflik antara kelompok dengan out group. Coser melihat konflik dapat berfungsi untuk mempertahankan keutuhan kelompok, fungsi konflik tersebut antara lain pertama, konflik suatu kelompok dengan kelompok lain dapat membuat kelompok tersebut semakin kuat solidaritasnya, anggota-anggota dalam kelompok tersebut semakin solid, kuat, dan bersatu dalam menghadapi ancaman dari luar. Contohnya kelompok A berkonflik dengan kelompok B, dalam menghadapi konflik dengan kelompok B anggota kelompok A semakin memperkuat rasa solidaritasnya, begitu juga kelompok B.
Kedua, solidaritas yang telah dijelaskan pada poin pertama dapat menimbulkan aliansi-aliansi suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Contohnya Indonesia memiliki konflik dengan Malaysia, dengan begitu Indonesia menjalin hubungan yang erat dengan Australia. Jika konflik dapat diselesaikan, kemungkinan ikatan hubungan Indonesia dengan Australia menjadi kendur. Ketiga, anggota-anggota kelompok yang dulunya pasif bisa menjadi lebih aktif dengan adanya konflik. Contohnya, saat orde baru banyak menuai protes terdapat tokoh yang awalnya tidak kenal akhirnya tampil di depan untuk ikut serta dan menjadi lebih aktif. Keempat, fungsi konflik untuk komunikasi. Contohnya saat suatu kelompok berkonflik dengan kelompok lain maka anggota-anggota kelompok akan merundingkan apa yang akan dilakukan dan bagaimana mereka harus menyikapi dan menyelesaikan konflik tersebut.
Konsep lain yang dikemukakan Coser adalah Savety Valve atau katup penyelamat. Lembaga savety-valve dapat berfungsi untuk mengatur konflik. Contohnya dalam memberantas korupsi terdapat suatu lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga KPK ini terdiri dari pihak-pihak yang netral. Contoh lain adalah badan perwakilan mahasiswa.
Ada juga konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis sumbernya konkret contohnya karyawan yang mogok kerja dan melawan manajemen masalah gaji. Sedangkan, konflik non realistis cenderung bersifat ideologis, contohnya seseorang yang memiliki konflik dengan orang dan melakukan balas dendam dengan ilmu ghaib.
3.      Teori Konflik Randal Colllins
Collins merupakan tokoh teori konflik yang lebih menyukai teori yang bersifat mikro dan berada pada level individu. Ia sendiri tidak menganggap konflik itu baik ataukah buruk, ia lebih melihat konflik sebagai sebuah proses yang sentral dalam kehidupan sosial manusia. Iapun menganalisis teori stratifikasi sosial Marx dan Weber, kemudian mengemukakan teori konflik stratifikasi miliknya sendiri.
Konflik dapat terjadi dalam lingkup keluarga. Menurut Collins, laki-laki dianggap lebih dominan daripada perempuan (Ritzer, 2008 : 291). Dalam keluarga, relasi antara suami dan istri dianggap dapat menimbulkan konflik. Suami dianggap mendominasi istri. Suami dianggap berkuasa atas istri dan anak-anaknya. Konflik yang terjadi antara suami istri dapat digambarkan dengan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istrinya.
Konflik juga dapat terjadi antar generasi. Orang dewasa dan anak-anak muda dapat berkonflik dimana orang dewasa merasa memiliki sumber daya yang lebih dibandingkan dengan anak-anak muda seperti pengalaman. Contoh konflik antar generasi juga dapat dilihat dalam lingkup keluarga seperti orang tua yang otoriter melarang anaknya bepergian ke suatu tempat.

D.     Kesimpulan
Konflik adalah hal yang nyata dalam kehidupan sosial masyarakat. Konflik sosial dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, dimana saja, dengan berbagai alasan dan sebab, dan juga beragam. Konflik sosial dalam masyarakat dapat dianalisis dengan pendekatan teori konflik dari beberapa tokoh yaitu Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randal Collins.
Dahrendorf melihat konflik karena masalah otoritas yang berbeda, ada yang memiliki otoritas ada yang tidak atau belum memiliki otoritas sehingga konflik terjadi antara dua kelas tersebut . Kemudian Dahrendorf juga mengemukakan adanya kelompok semu, kelompok manifes, kelompok kepentingan, kepentingan laten, kepentingan manifes. Coser sendiri lebih melihat fungsi positif konflik bagi masyarakat. Konflik dapat berfungsi untuk komunikasi, mempererat hubungan dalam kelompok, menimbulkan aliansi, dan membuat anggota-anggota masyarakat lebih berperan aktif. Tokoh terakhir yaitu Collins yang mengembangkan teori konflik yang lebih integratif dengan analisis level mikro. Ia membahas konflik yang terjadi antara laki-laki dan perempuan serta antara generasi muda dan generasi tua.

DAFTAR PUSTAKA
Poloma, Margaret M. 1987, Sosiologi Kontemporer, Cetakan ke-2, Penerbit CV Rajawali, Jakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Cetakan ke-1, Kreasi Wacana Offset, Bantul.
_______ . 2007, Teori Sosiologi Modern, Cetakan ke-4, Penerbit Kencana Prenada Media Group, jakarta.
Reader Bahan Bacaan Teori Sosiologi Modern, Lab. Sosiologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar