Rabu, 28 Mei 2014

Perubahan Sosial : Tradisi Nitik yang Mulai Terpinggirkan



Analisis dari Kasus Kliping
1.      Intisari Kliping
Masyarakat di beberapa desa di kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mempunyai sebuah tradisi yang disebut nitik. Nitik sejak dari dulu oleh masyarakat Trenggalek bukan hanya sekedar tradisi, tetapi juga sebagai kegiatan yang bertujuan memperoleh pendapatan. Nitik adalah kegiatan memecah batu-batuan yang dilakukan secara tradisional menggunakan alat yaitu martil.
Sekitar 10 tahun yang lalu, warga Trenggalek banyak yang mengandalkan batu-batuan sebagai sumber pendapatan tambahan selain dari hasil pertanian dan pekerjaan yang lainnya. Batu-batuan yang akan dipecah diperoleh dari warga yang lain yang berprofesi sebagai pencari batu atau petambang. Batuan ditambang di wilayah sekitar desa atau di lahan milik warga sendiri. Batuan juga dapat diambil dari sungai.
Batuan hasil nitik memiliki berbagai kegunaan. Dilihat dari ukurannya, batu-batuan yang besar dimanfaatkan misalnya dalam pembuatan tanggul kali atau sungai dan juga dalam pembuatan jalan yaitu sebagai bahan lapisan dasar aspal jalan. Sedangkan batuan yang kecil biasanya digunakan untuk bahan bangunan yaitu sebagai bahan campuran semen atau cor beton.
Nitik biasanya dilakukan oleh kaum perempuan yaitu untuk mengisi waktu senggang saat suami sedang bekerja di sektor publik. Namun, laki-laki juga banyak yang menjadi penitik (sebutan bagi pemecah batu) karena kegiatan memecah batu dianggap memiliki nilai tambah yang lumayan apalagi kegiatan nitik dapat dilakukan saat waktu luang atau sebagai pekerjaan sampingan sehingga tidak mengganggu pekerjaan utama laki-laki. Batuan hasil nitik bisa dijual setiap saat, sehingga sifatnya kontinu. Hal tersebut tentu berbeda dengan sektor pertanian, perkebunan, dan lainnya yang hasilnya tidak tentu, harga barangnyapun naik turun.
  Dengan berkembangnya teknologi yang begitu pesatnya, masuklah mesin pemecah batu. Mesin pemecah batu tersebut tentu lebih canggih dan modern, tidak membutuhkan tenaga manusia karena seluruh batuan dipecahkan menggunakan mesin. Hal tersebut berdampak pada kegiatan nitik masyarakat Trenggalek yang tidak seramai dulu. Karena hasil nitik menggunakan martil secara manual tentu kalah saing dengan mesin pemecah batu. Mesin pemecah batu dapat memecahkan batu-batuan dengan waktu yang tidak terlalu lama, hasilnyapun tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan cara tradisional.
Cara tradisional dianggap tidak efisien, karena jika pembeli membutuhkan batuan maka harus menunggu sampai penitik selesai memecah batuannya. Jika dengan cara tradisional waktu yang dibutuhkan sampai dua minggu, dengan mesin pemecah batu dapat menghasilkan batuan hingga 21 rit per hari. Hasilnya tentu berbeda jauh antara cara tradisional dengan menggunakan alat modern yang canggih.
Selain cara memecah batu yang berubah dari tradisional menjadi modern, cara mencari batu juga berubah. Awalnya masyarakat menggunakan cara tradisional dengan mencari batuan menggunakan serok dari bahan anyaman bambu di wilayah sekitar tempat tinggal mereka atau di sungai, dengan berkembangnya teknologi masyarakat beralih ke cara modern yaitu dengan cara blosting atau menggunakan bahan peledak untuk mengahancurkan batu-batu masif.
Ada beberapa hal lain yang menyebabkan kegiatan nitik di Trenggalek sudah tak seramai dulu. Selain karena perkembangan teknologi dengan masuknya mesin pemecah batu dan blosting, regenerasi dari para penitik sendiri tidak ada. Para penitik usianya sudah tua, tenaganya tentu tidak kuat lagi untuk mengayunkan martil dan memecah batu-batuan. Sedangkan mereka yang masih muda tidak ada yang menggantikan penitik yang sudah tua, mereka lebih senang bekerja di kota atau ke luar negeri sebagai buruh migran.
Dengan tidak adanya regenerasi dan alat-alat serta cara-cara modern yang masuk meggantikan cara tradisional menjadikan tradisi nitik masyarakat Trenggalek, Jawa Timur mulai terpinggirkan. Mesin menggantikan tenaga manusia, cara tradisional atau sederhana tergeser oleh cara yang lebih modern sehingga terjadi perubahan yang tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat Trenggalek

2.      Teori Perubahan Sosial yang Digunakan
Perubahan sosial dapat disebabkan berbagai faktor yang bersifat eksternal maupun internal dalam masyarakat. Faktor internal sendiri salah satunya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi telah membuat tradisi nitik masyarakat Trenggalek mulai terpinggirkan karena banyak warga yang mulai meninggalkan profesi sebagai penitik karena cara tradisional tergeser dengan adanya mesin pemecah batu yang lebih modern dan efisien tentunya.
Untuk menjelaskan kasus tradisi nitik yang mulai terpinggirkan dengan masuknya mesin pemecah batu yang menimbulkan dampak dan perubahan, dipakailah teori perubahan sosial. Banyak ahli yang mengemukakan tentang teori perubahan sosial. Teori perubahan sosial yang digunakan antara lain yaitu teori evolusi (Evolusionary Theory).
Dalam konsep teoritis yang dikemukakan oleh para ahli ini dinyatakan bahwa evolusi memengaruhi cara pengorganisasian masyarakat, utamanya adalah yang berhubungan dengan sistem kerja. Ferdinan Tonnies sendiri melihat bahwa masyarakat berubah dari tingkat peradaban sederhana ke tingkat peradaban yang lebih kompleks.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa terdapat kondisi-kondisi primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Kondisi tersebut bisa merupakan kondisi geografis, ekonomis, teknologis, atau geologis yang dapat menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan sosial lainnya. William Ogburn sendiri lebih menekankan pada aspek kondisi teknologis. Seperti yang terjadi di Trenggalek bahwa tradisi nitik yang bukan hanya sekedar tradisi tetapi juga sebagai bentuk kegiatan ekonomis mulai terpinggirkan dengan masuknya teknologi. Hal tersebut tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kaum evolusioner  memandang perubahan sosial mempunyai arah yang jelas, tetapi berjalan secara bertahap. Perubahan disebabkan oleh persoalan lebih ditekankan pada persoalan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Trenggalek adalah kegiatan nitik yang awalnya dilakukan secara tradisional menggunakan martil berubah menjadi cara modern dengan menggunakan teknologi yang canggih yaitu mesin pemecah batu.
Dalam teori evolusi terdapat tiga macam teori yaitu unilinear, universal, dan multilinear. Unilinier Theories of Evolution sendiri melihat bahwa manusia serta masyarakat juga kebudayaannya mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk kehidupan yang sederhana ke bentuk kehidupan yang modern (kompleks).
Sedangkan dalam teori neo-evolusi, Sahlin dan Service mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mengalami evolusi tahap lanjut memiliki ciri-ciri yaitu cara masyarakat mengeksploitasi lingkungan lebih efisien dan variatif, lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan cenderung mendominasi dan menggantikan tipe masyarakat yang kurang maju. Pada masyarakat Trenggalek dimana mereka yang sudah mulai menggunakan teknologi dalam mengeksploitasi alam lebih efisien menggunakan mesin pemecah batu. Mereka akan lebih mendominasi dan menggantikan penitik yang masih menggunakan cara tradisional, karena konsumen sendiri pasti akan memilih cara yang cepat.

3.      Analisis Kasus
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan sosial tersebut tak selamanya berarti kemajuan, perubahan tersebut dapat berarti kemunduran. Kehidupan sosial sendiri selalu dinamis. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa masalah jangka waktu dan persepsi tentang perubahan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, di dalam pengalaman manusia (1983 : 38).
Perubahan sosial menurut Hans Garth dan C. Wright Mills didefinisikan sebagai apa pun yang terjadi (kemunculan, perkembangan, dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap peran, lembaga, atau tatanan yang meliputi struktur sosial (Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011 : 610). Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial merupakan segala sesuatu yang terjadi, bukan hanya muncul dan berkembang tetapi juga kemunduran yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.  Masyarakat desa sendiri memiliki ciri-ciri yaitu warga masyarakatnya yang memiliki hubungan yang erat, hidup di pedesaan, sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan, dan lain sebagainya.
Perubahan sosial dapat dipengaruhi berbagai faktor baik dari dalam maupun luar masyarakat sendiri. Faktor internal masyarakat misalnya perubahan pada kondisi sosial, ekonomi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Selo Soemardjan sumber perubahan sosial meliputi faktor biologi, teknologi, dan ideologi. Tradisi masyarakat Trenggalek yaitu nitik mulai terpinggirkan dengan datangnya teknologi. Dalam melihat kasus tersebut, dapat dilihat bahwa sumber perubahan sosialnya adalah teknologi.
Penemuan-penemuan teknologi telah menyebabkan perubahan sosial yang sangat luas dalam masyarakat. Teknologi dapat mempengaruhi setiap aktivitas, tindakan, serta perilaku manusia. Apalagi dengan adanya globalisasi yang telah merubah wajah dunia dimana sekat diantara negara-negara seolah hilang, duniapun seolah menjadi tanpa batas. Ternyata arus globalisasi tidak luput menghampiri masyarakat, tak terkecuali pada masyarakat pedesaan yang sering dilukiskan sebagai masyarakat yang masih tradisional. Perkembangan teknologi begitu pesat, terjadi pula modernisasi. Menurut Dr Phil. Astrid S. Susanto modernisasi yang merupakan suatu perubahan total dari suatu masyarakat dalam keadaan tradisional menuju suatu masyarakat yang “maju” (1983 : 180). Jadi, modernisasi dapat berarti perubahan dari tradisional menjadi lebih modern.
Yang menjadi fokus perhatian adalah masuknya teknologi dan inovasi-inovasi yang tidak hanya memberikan dampak positif melainkan juga memberikan dampak negatif. Sudah berpuluh-puluh tahun kegiatan memecah batu-batuan masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Trenggalek menggunakan martil. Namun dengan datangnya mesin pemecah batu, tradisi nitik (memecah batu secara tradisional) mulai ditinggalkan dan tidak seramai dulu. Masyarakat beralih pada mesin pemecah batu yang dianggap lebih mudah, lebih cepat, dan lebih praktis. Daerah di Trenggalek yang masih banyak penitik adalah Sawahan dan Margomulyo yang wilayahnya jauh ke selatan.
Tradisi nitik bisa dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Namun, karena laki-laki biasanya bekerja sehingga nitik biasanya dilakukan kaum perempuan untuk mengisi waktu luang. Tujuannya tentu untuk mencari tambahan pendapatan. Nitik dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan usaha di sektor perkebunan, pertanian, dan lain sebagainya. Dimana sektor pertanian atau perkebunan hasil yang didapatkan tidak tentu dan harganyapun naik turun.
Kaum laki-laki ternyata juga menjadi penitik namun kebanyakan bukan menjadi sumber pendapatan utama melainkan sebagai pekerjaan sampingan. Contohnya adalah Mubin yang menjabat sebagai perangkat desa. Pada hari kerja, Mubin nitik sejak pukul 06.00-08.00 dan melanjutkan nitik sepulang kerja pukul 13.00-16.00.
Tradisi nitik tersebut mulai terpinggirkan dengan masuknya teknologi sehingga mengganti tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Perubahan yang terjadi adalah masyarakat yang biasanya cukup menggunakan martil untuk memecah batu kini berubah menggunakan mesin pemecah batu. Cara masyarakat yang tradisional berubah menjadi cara yang lebih modern. Hal tersebut tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat, dimana tradisi nitik mulai terpinggirkan karena pola pikir masyarakat akan lebih profit oriented. Tidak adanya regenerasi yang melanjutkan para penitik yang sudah tua karena hasil nitik dengan cara tradisional tentu  tertinggal jauh dengan memecah batu dengan mesin. Selain itu, generasi muda akan lebih memilih pekerjaan yang menghasilkan rupiah lebih banyak dibandingkan dengan nitik, mereka merantau bekerja di kota atau di luar negeri sehingga terjadi urbanisasi.
Hasil memecah batu secara manual dengan menggunakan martil tentu memakan waktu dan tenaga, satu rit bisa dihasilkan selama berhari-hari. Berbeda jauh dengan menggunakan mesin pemecah batu yang seharinya dapat menghasilkan 21 rit. Konsumen yang membutuhkan batu tentu akan memilih cara yang cepat. Saat mereka membutuhkan mereka hanya tinggal menghubungi pedagang. Dalam waktu singkat batu sudah sampai, tetapi jika menggunakan cara tradisional tentu konsumen harus menunggu lama sampai penitik selesai memecahkan batuan sesuai pesanan. Maka masyarakat akan kehilangan tambahan pendapatannya sekaligus tradisi mereka yang telah berpuluh-puluh tahun akan mulai terpinggirkan dengan masuknya teknologi yang modern. Mereka yang masih bertahan dengan cara tradisional akan sulit bersaing dengan mereka yang mampu membeli mesin.
Perubahan bukan hanya terjadi pada cara memecah batu, cara mencari batu juga berubah. Awalnya warga mencari batu secara tradisional menggunakan serok yang terbuat dari anyaman bambu, sekarang saat teknologi masuk warga masyarakat lebih memilih mencari dengan cara yang modern yaitu dengan menggunakan bahan peledak atau blasting untuk menghancurkan batu-batu yang masif. Mencari batu menggunakan serok tentu sangat tidak efisien, sedangkan dengan menggunakan blasting maka pekerjaan mencari batu dianggap lebih mudah dan cepat.
Masyarakat yang nitik dulunya memperoleh batuan dari warga yang berprofesi sebagai pencari batu. Namun sekarang mungkin masyarakat memilih mencari sendiri dengan menggunakan blasting yang tentunya lebih mudah. Selain itu, memecah batu sudah menggunakan mesin sehingga semuanya dapat dilakukan sendiri dengan cara yang lebih efisien. Masyarakat Trenggalek yang sudah variatif dan efisien dalam mengeksploitasi akan lebih mendominasi dan menggantikan para penitik yang masih menggunakan cara tradisional. Hasil dari memecah batu dengan mesin tentu jauh lebih besar jika dibandingkan memecah batu secara manual dengan martil, atas pertimbangan ekonomis tersebutlah masyarakat beralih dari martil ke mesin.
Masyarakat sangat terbuka pada hal-hal baru, seperti masuknya teknologi mesin dan blasting yang menjanjikan kecepatan, kemudahan, kemajuan, dan peningkatan produktivitas. Sikap masyarakat yang terbuka ditandai dengan sikap menerima sehingga memudahkan proses perubahan itu sendiri. Masyarakat memakai mesin dan menggunakan blasting untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Memang tidak semua masyarakat Trenggalek memakai mesin dan blasting, terbukti dengan masih adanya para penitik yang masih bertahan dengan martilnya. Tetapi tentu kehadiran teknologi sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehingga tradisi yang sudah bertahan berpuluh-puluh tahun perlahan-lahan akan semakin terpinggirkan. Apalagi dengan tidak adanya regenerasi akan memungkinkan tradisi tersebut hilang dan punah seiring perkembangan zaman.
Teknologi memang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi yang perlu kita ingat bahwa teknologi selalu berwajah ganda, teknologi selalu bermuka dua. Teknologi dapat menjadi teman, namun teknologi dapat menjadi lawan. Aktivitas manusia banyak terbantu dengan adanya teknologi, namun tidak sedikit pula aktivitas manusia yang terusik dengan adanya teknologi.
Dapat disimpulkan bahwa dengan datangnya teknologi dalam kegiatan memecah batu atau nitik pada masyarakat Trenggalek yaitu masuknya mesin pemecah batu dan blasting telah menyebabkan banyak perubahan. Perubahan tersebut antara lain cara tradisional yang tergantikan dengan adanya cara modern, sistem ekonomi yang awalnya sistem ekonomi keluarga berubah menjadi sistem ekonomi uang, terjadinya urbanisasi sehingga tidak adanya regenerasi para penitik. Tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin, tradisi nitik yang sudah lama ada terancam punah dengan masuknya mesin. Penitik tradisional sulit bersaing dengan mereka yang sudah menggunakan teknologi modern. Para penitik pun kehilangan sumber pendapatan mereka. Sistem kekeluargaan yang dibangun yaitu saat penitik mendapatkan batuan dari para warga lain yang berprofesi menjadi pencari batu seolah hilang dengan adanya teknologi.

DAFTAR PUSTAKA
M. Setiadi, Elly., Usman Kolip. 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), Cetakan ke-2, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Cetakan ke-1, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2009, Sosiologi : Suatu Pengantar, Edisi Baru, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Susanto, Astrid S. 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Cetakan ke-4, Penerbit Bina Cipta, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar