BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
kehidupan sosial, masyarakat dan berbagai kalangan sering membicarakan istilah
politik. Politik nampaknya akrab sekali dengan kehidupan kita. Individu maupun
kelompok tidak berpolitik adalah tidak mungkin. Perbincangan mengenai politik
itu membahas organisasi pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara formal.
Salah satu contohnya adalah mengenai partai politik.
Partai
politik memiliki peran yang sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Partai
politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis.
Sebagai komponen penting dari sistem politik modern dan dalam struktur politik
demokratis, partai politik menjadi perantara antara penguasa dan warga negara
yang memilih penguasa tersebut. Partai politik menjadi “tangan” rakyat dalam
mengatur negara secara bersama. Partai politik yang bertanggung jawab adalah
saran yang efektif untuk meredam konflik ditengah masyarakat, yaitu dengan
menyalurkan konflik itu menjadi alternatif-alternatif kebijakan dan figur
pemimpin yang diperjuangkan melalui cara-cara damai, etis, sah, dan diakui
bersama.
Partai
politik di Indonesia telah muncul pada dasawarsa kedua abad ke-20 dimasa
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Artinya, partai telah hadir pada saat ke-Indonesiaan
atau identitas nasional belum terumuskan. Namun, partai politik saat ini sedang
berada dipersimpangan kritis. Kredibilitas dan citra politik saat ini merosot
secara dramatis sejak keran sistem multi partai dibuka pada awal era reformasi.
Dan
salah satu partai politik di Indonesia yang dapat dengan cepat mencapai postur
politiknya yang besar adalah Partai Demokrat atau sering disebut Partai Biru
dengan Susilo Bambang Yudhoyono (kerap disebut SBY) menjadi ikon partai ini.
Namun, menjadi besar dan menjadi modern adalah dua hal yang sama sekali
berbeda. Menjadi besar bisa dicapai dengan meraih dukungan besar yang dicapai
partai ini dalam Pemilu 2004 dan mengulang suksesnya kembali dalam Pemilu 2009.
Partai Demokrat juga tak lepas dari masalah dan berbagai konflik. Sementara itu
menjadi modern hanya mungkin dicapai manakala partai ini mampu keluar dari
berbagai ancaman krisis dalam tubuhnya.
Oleh
karena itu disusunlah makalah berjudul “Fenomena Partai Politik Indonesia di
Era Reformasi : Partai Demokrat dan SBY” untuk menjelaskan fenomena Partai
Demokrat yang mengejutkan sebagian kalangan itu serta memberikan gambaran
perjuangan kekuasaan Partai Demokrat dalam memperoleh kekuasaan baik ketika
belum memiliki kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaannya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi partai politik, fungsi, tipe, serta basis partai politik ?
2. Bagaimana
gambaran fenomena partai politik Indonesia di era reformasi ?
3. Apa
yang membuat Partai Demokrat menjadi fenomenal ?
4. Ancaman
krisis apa saja yang terdapat dalam tubuh Partai Demokrat ?
5. Bagaimana
Partai Demokrat dimasa sekarang ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui definisi partai politik, fungsi, tipe, serta basis partai politik.
2. Menjelaskan
gambaran fenomena partai politik Indonesia era reformasi.
3. Mengetahui
fenomena Partai Demokrat.
4. Menjelaskan
krisis-krisis yang dihadapi Partai Demokrat sebagai fenomena.
5. Menjelaskan
gambaran Partai Demokrat di masa sekarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Partai
Politik
1. Definisi
Partai politik
Dari sisi etimologis, menurut Laica
Marzuki, kata partai berasal dari bahasa
latin pars, yang berarti
bagian. Karena hanya suatu bagian, membawa konsekuensi pengertian adanya
bagian-bagian lain. Oleh karena itu, jika hanya terdapat satu partai dalam
suatu negara berarti tidak sesuai dengan makna etimologis dari partai itu
sendiri.
Pengertian dari sisi etimologis juga
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Partai berasal dari akar kata part yang berarti bagian atau golongan.
Kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokkan masyarakat berdasarkan
kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan.
Pengelompokkan itu bentuknya adalah organisasi secara umum, yang dapat
dibedakan menurut wilayah aktivitasnya, seperti organisasi kemasyarakatan,
organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam
perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk organisasi
politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik.
Dengan demikian, partai dapat
dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai adalah
penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada
organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai adalah partai politik,
yaitu organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik. Penelitian ini
memfokuskan pada partai politik sebagai organisasi masyarakat yang bergerak
dibidang politik.
2. Fungsi
Partai Politik
Menurut Sigmund Neumann, partai
politik dalam suatu Negara demokrasi mempunyai empat fungsi yaitu :
a.
Partai mengatur kehendak
umum yang kacau.
Partai
adalah perantara ide-ide dan selalu menjelaskan, mensistematiskan, dan
menerangkan ajaran partai. Partai adalah wakil dari kelompok-kelompok
kepentingan social, menjembatani jarak yang terdapat antara orang seorang dan
masyarakat luas.
b.
Mendidik warga negara
untuk bertanggung jawab secara politik.
Partai
mengajarkan suatu pola persaingan dari sekurang-kurangnya dua partai yang
bersaing dan mempertajam kebebasan pilihannya. Para pemberi suara didorong
untuk memilih sekurang-kurangnya yang paling kurang buruknya dari dua
alternatif yang ada (tokoh dan kebijakan). Dengan kebebasan memilih, maka
kompromi dari suatu situasi politik yang sulit pada akhirnya akan mencerminkan
putusan yang masuk akal dari pemilih yang bebas.
c. Menjadi
penghubung antara pemerintah dan pendapat umum.
Hubungan
antara pemimpin dan pengikat merupakan suatu keharusan dalam komunikasi dua
arah yang ada dalam system demokrasi. Maka merupakan tugas utama dari partai
adalah untuk menjaga agar saluran komunikasi itu tetap terbuka dan jelas. Tugas
seperti ini menjadikan partai, kalau tidak sebagai peguasa, sekurang-kurangnya
dalam suatu negara demokrasi perwakilan sebagai pengendali pemerintah.
d. Memilih
para pemimpin
Disini
pola bersainglah, yaitu memilih sedikitnya diantara dua oligarki, yang
menjalani mutu dari kepemimpinan. Pemilihan pemimpin demikian tentu saja
mengasumsikan adanya suatu public yang mempunyai pikiran terbuka, public yang
memenuhi syarat untuk membuat pilihan yang benar, dan adanya suasana intelektual
yang cocok untuk berfungsinya partai-partai yang demokratis. Kalau berbagai
persyaratan seperti itu sudah tidak ada lagi, maka timbullah krisis demokrasi.
Menurut
Almond, ada delapan fungsi struktur politik, yaitu :
Sosialisasi
politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi
kepentingan, pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman
kebijakan
Tiga fungsi yang pertama yaitu
sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik, tidak secara
langsung terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan (public policy), tetapi sangat penting
dalam menentukan cara bekerjanya system politik. Dan lima fungsi struktur
politik lainnya yaitu terkait dengan
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dalam setiap sistem politik.
Miriam Budiardjo mengajukan fungsi-fungsi partai politik
yang sedikit berbeda, yaitu menjadi sarana dari : komunikasi politik,
sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik (Confilct Management). Dalam fungsi
komunikasi politik, Miriam memasukkan dua fungsi dari Almond diatas, yaitu
fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan.
Dalam pandangan Macridis, fungsi-fungsi partai politik
yang diajukan oleh para ilmuwan politik dan sosiologi - seperti representasi,
perantara, konversi, dan agregasi; integrasi (partisipasi, sosialisasi, dan
mobilisasi); persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru),
dan pemilihan pemimpin; pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijakan;
serta control terhadap pemerintah – tidaklah memberikan komseptualisasi yang
memuaskan mengenai hubungan fungsi dan struktur politik. Karena itu. Macridis
mengajukan satu fungsi terakhir partai politik, yaitu apa yang disebutnya
dengan fungsi dukungan (supportive
function). Partai tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga
harus menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidupnya dan kelangsungan
hidup system dimana partai itu beroperasi.
Partai harus menciptakan dukungan pada system, karena
tidak ada partai yang dapat hidup untuk waktu yang lamatanpa adanya usaha
menanamkan pola kepercayaan dikalangan rakyat yang bias mendukungnya dan
mendukung klangsungan system politik secara keseluruhan, antara lain dengan
secara efektif menjalankan fungsi konversi. Hal ini terutama penting di
negara-negara baru, dimana system politik yang dibangun kadang tidak
memperhatikan kepentingan kelompok-kelompok yang terlibat sehingga konflik yang
terjadi menghancurkan system itu sendiri. Maka, kemampuan untuk berkompromi,
tegasnya, merupakan hal yang pertama yang esensial dan diharapkan dari
partai-partai di negara-negara baru.
3. Basis
Partai politik
Sebagai bagian dari masyarakat,
partai politik tentu bergantung pada masyarakat, baik secara basis dalam hal
pembentukan maupun dalam hal dukungan pemilih.
Pembentukan partai politik, baik
secara teoritis maupun praktik di negara-negara demokrasi yang stabil di eropa
dan Amerika Serikat, boleh mengikuti setiap unsur yang ada dalam masyarakat.
Sebuah partai boleh hanya untuk satu etnis tertentu saja, untuk satu agam saja,
atau hanya untuk suatu profesi atau kelas tertentu saja. Parta-partai dengan
basis terbatas ini tidaklah harus menjadi eksklusif yang merongrong demokrasi.
Yang menjadi musuh demokrasi adalah partai yang berjuang mencapai kekuasaan
politik dengan cara-cara kekerasandan diluar ketentuan hokum, seperti kudeta
atau revolusi, atau untuk tujuan-tujuan yang menafikkan demokrasi dan hak-hak
asasi manusia, seperti pada partai komunis.
Perbedaan agama, suku, dan kelas
social dalam masyarakat kadang kala memang memunculkan partai-partai yang
didasarkan pada perbedaan-perbedaan itu, meskipun hal itu tidak selalu terjadi.
Menurut Gabriel Almond, yang lebih mungkin mempengaruhi pembentukan
partai-partai adalah
pengalaman-pengalaman historis yang memperkuat kesadaran politik dari
satu atau beberapa kelompok masyarakat. Dominasi satu suku atas suku lain,
konflik-konflik yang sudah berjalan lama antarkelompok-kelompok keagamaan,
adanya usaha dari suatu kelompo budaya untuk memaksakan pemakaian bahasanya
pada kelompok-kelompok lain, dominasi dari suatu aristokrasi atau kelas
industrialis atas buruh dan petani kecil, dan sebagainya, semua ini merupakan
situasi-situasi yang dapat mempengaruhi pola pembentukan partai politik.
Dalam konteks sejarah Barat, Maurice
Duverger menunjukkan bahwa partai-partai politik di Eropa terbentuk karena
adanya “pertentangan dasar”. Umumnya basis konflik adalah pertentangan kelas
yang bersifat ideologis, dan karena agama, factor-faktor institusional dan
sejarah, serta partai nasionalis yang menuntut kemerdekaan bangsanya dari
kekuasaan negara atau bangsa lain. Selain itu, ada pula partai kelas, yakni
partai petani di negara-negara Skandinavia yang muncul tanpa konflik dengan
kelas borjuis atau feudal.
Dalam bahasa Lipset dan Rokkan, dasar
pembentukan partai politik di Eropa adalah Social
Cleavages , pembelahan social, yang dihasilkan oleh ketegangan-ketegangan
social-kultural antara pusat-daerah, Negara-agama, tuan tanah-indutriawan, dan
pengusaha-buruh.
Basis pendukung atau pemilih dari
suatu partai politik dapat dibedakan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan sosiologis yang
mengasumsikan bahwa preferensi atau pilihan orang terhadap suatu partai
merupakan produk dari karakteristik sosio-ekonomi, seperti status social,
agama, kota-desa, dan kedaerahan. Kedua,
pendekatan Party Identification, yang
merupakan gambaran persepsi psikologis masyarakat terhadap partai, yang
terbentuk melalui sosialisasi politik sejak kecil atau karena suatu peristiwa
penting dalam hidup. Identifikasi partai ini, dapat dibaca melalui survey,
berfungsi untuk mengetahui tingkat fragmentasi politik.
Karena ingin mendapat dukungan
pemilih seluas mungkin guna memperoleh kekuasaan politik, partai politik pada
umumnya memperluas basis sosialnya atau basis pendukungnya, dengan dasar-dasar
yang bersifat nasional di suatu negara.
4. Tipe
Partai Politik
Macridis menyebut sejumlah tipe
partai politik, yaitu :
a. Dilihat
dari sumber dukungan, dibagi menjadi dua yaitu Partai komprehensif dan Partai
sectarian.
b. Dilihat
dari segi organisasi internal, terbagi menjadi dua yaitu Partai tertutup dan Partai
terbuka
c. Dilihat
dari segi fungsi dan cara bertindak, pada dasarnya partai terbagi menjadi dua
yaitu Diffused party (partai menyebar)
dan Specialized party (partai terspesialisasi)
Miriam Budiharjo menyebut empat jenis partai politik, yaitu
partai kader dan partai massa dilihat dari segi komposisi dan fungsi
keanggotaan, serta partai lindungan dan partai ideology dilihat dari segi sifat
dan orientasi.
Pengklasifikasian jenis partai yang dilihat dari sudut
pandang secara umum, adalah :
1.
Partai Proto
Jenis
partai ini merupakan karakter dasar dari tipe awal parpol, yang biasanya ada
dalam lingkungan parlemen atau intraparlemen. Basis pendukungnya adalah kelas
menengah ke atas. Bentuk organisasi dan ideologinya relatif rendah (sederhana).
Belum sepenuhnya sebagaimana dalam ciri parpol modern. Ciri faksional masih
menonjol, dan ciri yang jelas adalah pembedaan antara kelompok anggota dan
non-anggota.
2. Partai
Kader.
Secara
historis partai ini berkembang sebagai akibat hak pilih belum diberikan kepada
masyarakat luas. Anggotanya kebanyakan kelas menengah ke atas, dan tidak
memerlukan organisasi besar untuk memobilisasi massa. Penekanan partai kader
sesungguhnya adalah terletak pada penguatan yang cukup tinggi pada level
pengurusnya, dalam hal peningkatan kapasitas personalnya untuk kepentingan
partai.
3.
Partai Massa.
Berkembangnya jenis ini
karena adanya perluasan hak pilih rakyat. Parpol ini dihentuk di luar
parlemen (ekstraparlemen). Orientasi parpol ini adalah kepada basis pendukung,
yaitu buruh, petani dan massa lainnva. Tujuannva adalah untuk pendidikan
politik dan pemenangan pemilu. Ideologi dan organisasinva rapi.
4.
Partai Diktaktoral.
Jenis
ini adalah merupakan subtipe partai massa. Ideologinya kaku dan radikal.
Pimpinan tertinggi melakukan kontrol ketat. Rekrutmen anggotanya sangat ketat,
di mana anggota parpol dituntut mengabdi secara total. Namun sesungguhnya di
tingkat pengambilan keputusan, istilah “diktatoral” tampaknya kurang tepat.
Hanya saja di sini lebih pada aspek konsistensi dan ketatnya implementasi
ideologi yang coba dikembangkan oleh partai-partai jenis ini.
5.
Partai Catch-All.
Jenis
partai ini merupakan gabungan antara partai kader dan massa. Mereka berusaha
menampung kelompok sosial sebanyakbanyaknya untuk menjadi anggotanya.
Tujuannya memenangkan pemilu berkaitan dengan berkembangnya kelompok
kepentingan dan penekan, dan ideologinya tidak terlalu kaku.
B.
Partai Politik
Indonesia Era Reformasi
Sebenarnya, dalam teori dan
sejarah praktik politik diseluruh dunia, tidak ada model tunggal organisasi
partai politik yang terbaik yang dapat berlaku dimana-mana. Partai politik
dapat berupa organisasi yang hierarkis dan birokratis, atau menjadi organisasi
payung bagi para kandidat yang maju dalam Pemilu atau organisasinya berada
diantara dua bentuk ekstrim tersebut. Kelembagaan partai politik disuatu negara
sangat bergantung pada sejarah kemunculan partai itu sendiri, disamping
“ketesediaan” sistemik yang membangun kehidupan kepartaian.
Di masa reformasi, partai politik
berada dipersimpangan kritis. Dukungan publik yang begitu besar telah berubah
menjadi kritik, cemoohan, bahkan sikap antipati. Di sisi lain, partai politik
merupakan salah satu pilar utama sistem demokrasi terbuka.
Sebagai salah satu pilar utama,
tidak bisa dipungkiri peran dan fungsi partai politik sangatlah penting dalam
mendorong proses konsolidasi demokrasi. Akan tetapi, sampai saat ini, partai
politik belum berhasil menjalankan peran dan fungsinya secara optimal dalam
membangun sistem politik yang demokratis di Indonesia.
Partai politik di Indonesia masa
reformasi masih didera berbagai masalah mulai dari kepemimpinan politik,
konflik internal, sumber daya keuangan, dan pemenuhan sumber daya manusia yang
berkualitas di partai politik. Partai politik sebagai entitas politik yang
punya problematika dasar, tetapi peran dan fungsinya dibutuhkan untuk membangun
dan menjaga demokrasi. Oleh karena itu partai politik yang sedang menghadapi permasalahan
besar dalam konteks evolusi sistem kepartaian di Indonesia jangan dimusuhi,
tetapi diperkuat dan diberdayakan kapasitas demokrasinya dalam mendorong proses
konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Gerakan reformasi yang
dimotori M. Amien Rais dan disokong oleh mahasiswa, akhirnya berhasil mendorong
jatuhnya Soeharto dari kursi presiden Indonesia yang diduduki lebih dari 30
tahun, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998, yang diikuti penunjukkan Wakil
Presiden B.J. Habibie sebagai presiden. Jatuh atau mundurnya Soeharto ini
menumbuhkan harapan akan kehidupan politik yang lebih baik dan demokratis.
Luapan kebebasan yang dirasakan oleh masyarakat mendorong lahirnya banyak
partai politik baru, yang didirikan oleh tokoh-tokoh yang tidak diakomodasi
dalam system kepartaian Orde Baru, atau oleh tokoh-tokoh yang keluar dari
partai politik yang ada (PPP,Golkar, dan PDI) dan membentuk partai politik
sendiri.
Sebelum reformasi 1998,
selain PPP, Golkar, dan PDI telah ada Masyumi baru, Partai Uni Indonesia
(PUDI), dan Partai Rakyat Demokratik. Dan setelah reformasi Mei 1998, berdiri
ratusan partai-partai politik, diantaranya adalah :
1. Partai
Ummat Islam (PUI)
2. PDI
mengalami perpecahan. Selain PDI yang dipimpin oleh Budi Hardjono (dikenal
sebagai PDI Suryadi), berdiri pula :
a.
Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P)
b.
Partai Murba
c.
Partai IKPI
d.
PNI juga dihidupkan
kembali. PNI mengalami perpecahan antara PNI, PNI-Massa Marhaenis, dan PNI-Font
Marhaenis.
e.
Parkindo lahir kembali
dengan nama Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna)
f.
Partai Katolik tidak
dihidupkan kembali, namun dari kalangan katolik lahir tiga partai, yaitu :
1) Partai
Demokrasi Kasih Bunda (PDKB)
2) Partai
Katolik Demokrat (PKD)
3) Partai
Demokrat Katolik (PDK)
3. PPP
juga mengalami perpecahan. Selain PPP yang dipimpin oleh Hamzah Haz, berdiri
pula :
a.
PSII dihidupkan
kembali, namun mengalami perpecahan, antara PSII 1905 dan PSII.
b.
Partai Persatuan
c.
NU tidak mengubah diri
menjadi partai politik namun perpecahan dalam tubuh organisasi Islam
tradisional ini memunculkan empat partai politik baru, yaitu :
1) Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI)\
2) Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB)
3) Partai
Nahdlatul Ummat (PNU)
4) Partai
Kebangkitan Umat (PKU)
4. Dari
Golkar, selain Golkar berubah menjadi Partai Golkar, muncul dua partai baru,
yaitu :
a. Partai
MKGR
b. Partai
Keadilan dan Persatuan (PKP)
5. Dari
keluarga besar Masyumi muncul beberapa partai baru, selain Masyumi Baru
pimpinan Ridwan Saidi, yaitu :
a.
Partai Bulan Bintang
(PBB)
b.
Partai Politik Islam
Indonesia Masyumi
6. Partai
Keadilan (PK)
7. Partai
Amanat Nasional (PAN)
Sebagian partai baru itu, khususnya yang dibentuk
oleh pendukung partai yang sudah “mati”, pada dasarnya berakar pada era
pergerakan kemerdekaan sampai akhir masa demokrasi parlementer. Basis sosial
partai-partai itupun menapaki masa lalunya. Begitu pula dengan dasar-dasar
ideologinya.
Bahkan para pengurusnya punya kaitan keluarga,
kerabat, teman, dan patron dengan sejumlah elit partai pendahulunya. Dilihat
dari sisi lain, sebagian partai-partai baru di era reformasi dilatari oleh
gerakan masyarakat anti kediktatoran Orde Baru untuk menegakkan demokrasi
ekonomi, politik, dan sosial. Akan tetapi, disamping itu juga ada sejumlah
partai lahir dari tangan tokoh masyarakat yang ambisius, petualang politik, dan
penjudi nasib yang bermotif mendapat kekuasaan, nama, dan fasilitas. Secara
umum, dapatlah dikatakan bahwa karakter organisasi system kepartaian Indonesia
dilandasi oleh keyakinan yang mendekati fanatik atas sejarah dan ideologi
partai serta kepentingan para pemimpin masing-masing.
Selain membebaskan pembentukan partai politik dan
penggunaan asas partai, mencabut P4 dan menghilangkan floating mass, secara umum format kepartaian pada awal era
reformasi (1999) tidaklah banyak berbeda dari warisan Orde Baru sebagai akibat
masih kuatnya kelompok status quo di
pemerintah dan parlemen. Hal yang positif adalah diselenggarakannya pemilihan
umum pada hari libur atau hari yang diliburkan, yang member peluang pada
birokrasi untuk menentukan pilihannya secara bebas dan tanpa tekanan.
Jika di masa revolusi dan demokrasi parlementer
kabinet disusun oleh suara mayoritas di parlemen, dengan menyisakan partai
oposisi, maka di era reformasi ini tidak ada partai politik yang bersedia duduk
di kursi oposisi. Akibatnya, kabinet menjadi pelangi.
Berdemokrasi, termasuk berpartai politik, bukanlah
proses sekali jadi. Demokrasi atau usaha membangun partai politik yang sehat,
kokoh, dan aspiratif bagi kepentingan rakyat secara umum jelas memerlukan waktu
dan pembelajaran. Hal ini, bukan saja menuntut kesabaran dalam berdemokrasi,
tetapi juga kesungguhan untuk bekerja demi kepentingan umum. Partai-partai akan
gagal jika dikritik dan kekecewaan rakyat tidak dapat diapresiasi oleh partai
dengan responsive. Partai akan gagal jika kecenderungan oligarki dalam dirinya
tidak dientaskan. Partai tidak akan kokoh jika aspirasi masyarakat diabaikan
dan kelompok-kelompok baru dalam masyarakat tidak diakomodasi dalam struktur
kerjanya.
Apabila menghadapi kelemahan-kelemahan partai
politik di era reformasi tersebut masyarakat berpaling kepada militer atau
sistem politik otoritarian, maka yang dihasilkan tetap sevuah rezim
anti-demokrasi yang jauh lebih korup sebenarnya, baik terhadap kekuasaan maupun
keuangan Negara. Karena itu, pemantapan atau konsolidasi demokrasi juga
memerlukan dukungan atas demokrasi dalam pikiran dan perilaku masyarakat.
Kelebihan demokrasi adalah tersedianya mekanisme untuk terus memperbaiki sistem
yang berlaku.
C. Partai
Demokrat adalah fenomena
1. Pembentukan
dan berdirinya Partai Demokrat
Sesungguhnya
masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk mewujudkan tatanan baru
dalam yang menjadi tujuan utama gerakan reformasi. Pilihan itu terletak pada
dua hal utama yang harus dilakukan. Pertama, mendahulukan sistem ketatanegaraan
yang diharapkan dapat membuka peluang bagi kelahiran pemimpin bangsa yang
ideal. Kedua, pilihan sebaliknya adalah memilih pemimpin yang akan mampu
memimpin bangsa Indonesia menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Di
tengah wacana dan pemikiran itu muncullah sosok Susilo Bambang Yudhoyono
(selanjutnya disebut SBY). Nama ini kemudian hari semakin menarik simpati
masyarakat dalam upaya mencari pemimpin nasional yang ideal. Namanya mulai
diperhitungkan saat SBY menjadi salah satu calon wakil presiden dalam siding
MPR tahun 2001. Meskipun kalah kemunculan SBY dalam pencalonan sebagai wakil
presiden yang didukung oleh utusan golongan MPR dan disokong 100 anggota telah
melahirkan momentum baru. Masyarakat yang simpati pada SBY merasa peduli terhadap
perkembangan politik masa itu. Masyarakat menganggap SBY adalah tokoh yang
memnuhi impian masyarakat akan pemimpin yang ideal.
SBY,
seorang jenderal cerdas dan santun, orang jawa, beragama islam, dan tangannya
tidak berlumuran darah seperti banyak senior dan jenderal koleganya membuat
mereka yang merasa yakin bahwa SBY adalah sosok pemimpin yang ideal melakukan
pendekatan. Pada saat yang sama kebetulan SBY secara pribadi punya kepentingan
yang sama. Yakni, menggagas sebuah wadah yang bias menjadi kendaraan politik
yang mampu mengusung dirinya dalam pertarungan kepemimpinan nasional pada
kemudian hari.
Bagi
SBY mendirikan partai merupakan pemikiran lama. Gagasan dan ide perlunya sebuah
partai politik itu didasari kenyataan bahwa banyak partai yang belum bias
memenuhi kebutuhan. Keinginan, dan harapan rakyat Indonesia. Pada saat itu
banyak partai yang dianggap tidak bias memperjuangkan nasib rakyat.
Dengan
demikian dalam bayangan SBY dan juga para penggagas yang sebagian besar adalah
kalangan akademisi, partai yang dibangun harus mencitrakan modernitas,
kedamaian, kesejukan, menjunjung tinggi moralitas, dan bertanggung jawab
terhadap pendidikan politik rakyat. Kemudian SBY aktif merumuskan berdirinya
sebuah partai. Selain didorong oleh ada sejumlah orang yang mendukungnya,
karena tanpa partai maka tidak ada kesempatan untuk meraih tampuk kekuasaan.
Namun,
pada saat SBY sibuk merumuskan berdirinya sebuah partai mendadak mendapat
telepon dari Megawati yang baru dilantik menjadi presiden menggantikan Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur yang dilengserkan oleh SI MPR pada juli 2001 untuk menjadi
Menko Polkam (Menteri Koordinator Politik dan Keamanan).
Pada
tanggal 12 Agustus 2001 sebuah pertemuan berlangsung di Hotel Hilton yang
dipimpin langsung SBY. Dalam pertemuan hadir pula tokoh-tokoh yang menjadi
penyokong kuat Partai Demokrat. Kemudian rapat tersebut membentuk tim pelaksana
atau tim pembentukan partai yang mengadakan pertemuan secara maraton setiap
hari. Tim itu terdiri dari :
a.
Vence Rumangkang,
b.
Drs. A. Yani Wahid (Alm)
c.
Achmad Kurnia
d.
Adhiyaksa Dault
e.
Baharuddin Tonti
f.
Shirato Syafei
Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung
pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam
pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian
partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Dan
tanggal 20 Agustus 2001 para penggagas partai mulai berusaha merekrut orang
untuk menjadi pendiri sebuah partai politik. Disepakati dibutuhkan 99 orang.
Setelah dilakukan verifikasi oleh Sutan Bhatoegana, Prof.
Subur Budhisantoso diangkat menjadi pejabat Ketua Umum dan Prof. Dr. Irzan
Tanjung sebagai pejabat Sekretaris Jenderal. Sementara jabatan Bendahara
diserahkan ke Vence Rumangkang.
Pada tanggal 9 September 2001 pukul 20.30 WIB, bertepatan
dengan hari ultah SBY yang ke-52 di Cikeas, Tim Pendiri melapor ke SBY mengenai
telah terbentuknya Partai Demokrat. Dan pada tanggal 10 September
2001 Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM.
Tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention
Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat
Kerja Nasional (Rakemas) Pertama pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel
Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang
(DPC) seluruh Indonesia.
2. Sosok
sang jenderal
Jend.
TNI
(Purn.)
Dr.
H.
Susilo Bambang Yudhoyono adalah lulusan
terbaik AKABRI 1973 (Akabri:
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
dengan penghargaan Adhi
Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti
Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi
gabungan mental, fisik, dan intelek) yang kemudian akrab disapa SBY. Lahir di
Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati,
merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.
Pensiunan
jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan
Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan
Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes
Tremas
Yudhoyono
yang dipanggil "Sus" oleh orang tuanya dan populer dengan panggilan
"SBY", melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Pacitan.
Selama di militer ia lebih dikenal sebagai Bambang Yudhoyono.
Langkah
karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun
lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan
dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian,
SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur
memintanya menjabat Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden
Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet
Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari
jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa
menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan
nasional.
3. Gejala
Gigantisme Partai Demokrat
Setelah
terbentuk tanggal 9 September 2001 Partai Demokrat lahir dan besar dengan
melewati banyak rintangan. Nama Partai Demokrat mulai diperhitungkan ketika
SBY, calon presiden yang diusung Partai Demokrat dizalimi Taufik Kiemas.
Polemik kemudian memuncak saat SBY mundur dari posisi Menko Polkam. Saat itulah
Partai Demokrat mulai diperhitungkan, terutama setelah SBY secara terbuka
mengatakan bahwa dirinya adalah pendiri Partai Demokrat dan maju sebagai calon
presiden dalam pemilu 2004.
Dengan
melintasi syarat ketat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Partai Demokrat maju di pemilu 2004. Partai
Demokrat adalah benar-benar fenomena. Diulang tahunnya yang ketiga, pada 9
September 2004 sudah merayakan dua pesta kemenangan, yaitu :
a. Meraih
sekitar 8 juta (7,8 %) pemilih atau 56 (10,18%) kursi DPR dalam pemilu
legislative 5 April 2004.
b. Mengantar
SBY kandidat yang mereka usung bersama kandidat wakil presiden Muhammad Jusuf
Kalla ke posisi nomor satu (diatas Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi)
dalam putaran pertama Pemilu Presiden 5 Juli 2004.
SBY-Kalla akhirnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden
dengan kemenangan telak atas Megawati-Muzadi dalam putaran kedua pemilihan
presiden (20 September 2004) yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah
Indonesia merdeka diadakan secara langsung.
Namun apa makna gejala gigantisme itu?. Partai Demokrat
menjadi partai yang bongsor dalam sejarah reformasi yang masih pendek. Dengan
cepat partai ini menjadi besar. Diulang tahunnya yang ketiga Partai Demokrat
sudah meraih tampuk kekuasaan. Di atas permukaan, mungkin berita baik bagi
anggota partai baru ini. Namun, pemimpin, anggota, maupun simpatisan Partai
Demokrat harus hati-hati, berkaitan dengan kemungkinan gejala gigantisme dalam
partai politik tersebut. Makna gigantisme itu sendiri adalah BESAR SECARA CEPAT
SAMBIL TAK SEHAT. Gejala gigantisme Partai Demokrat adalah sebuah partai yang
besar secara cepat tapi juga cepat tersungkur.
4. Partai
Demokrat dalam Pemilu 2009
5
tahun telah berlalu, Partai Demokrat yang sukses dalam Pemilu 2004 dan membawa
SBY menjadi orang nomor satu di Indonesia dan Muhammad Jusuf Kalla menempati
kursi nomor dua RI sebagai wakilnya kembali mengulangi sukses tersebut dalam
Pemilu 2009.
Dari
hasil Pemilu 2009,
Partai Demokrat menjadi Pemenang Pemilu Legislatif 2009. Partai Demokrat
memperoleh 150 kursi (26,4%) di DPR RI, setelah mendapat 21.703.137 total suara
(20,4%). Partai Demokrat meraih suara
terbanyak di banyak provinsi, hal yang pada pemilu sebelumnya tidak terjadi,
seperti di Aceh,
DKI Jakarta,
dan Jawa Barat.
Dan untuk kedua kalinya SBY menduduki kursi nomor satu RI, namun berbeda dengan
tahun sebelumnya dimana Jusuf Kalla sebagai wakilnya kini SBY didampingi oleh
Boediono.
Bagaimanapun
kemunculan SBY dan Partai Demokrat adalah merupakan bagian penting tidak hanya
berkontribusi pada pendewasaan sikap politik rakyat Indonesia, namun sekaligus
bereksperimen memadukan antara keterbukaan dan kebebasan politik dengan gerak
maju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Dan satu hal lagi, pilihan kepada
SBY, dalam banyak analisis mengenai perilaku pemilih dalam pemilu, memasukkan
unsur etika dan moral politik sebagai salah satu alasan pilihan.
Penentuan
pilihan politik rakyat kepada SBY dan beralihnya pilihan politik massa kepada
Partai Demokrat, sehingga keduanya mampu memenangkan kompetisi politik di
Pemilu 2009 lalu, adalah satu hal yang penting direnungkan. Cukup banyak
bertebaran ide dan pelajaran berharga, tidak hanya berkenaan dengan seni
berpolitik, namun juga berhubungan kuat dengan kalkulasi penentuan masa depan
bangsa. ada unsur-unsur dan nilai-nilai universal yang merupakan prinsip pokok
dalam berpolitik. Unsur-unsur itu telah teruji pada dua kali pemilu: menjadi success
kemenangan politik.
D. Krisis
multidimensi yang menyelimuti Partai
Demokrat
Partai Demokrat dibentuk ditengah
absennya jaringan utama. Partai Kebangkitan Bangsa memiliki NU atau Nahdlatul
Ulama sebagai jaringan utama. Partai Amanat Nasional sedikit banyak
mengandalkan Muhammadiyah sebagai jaringan utama, sekalipun kemudian terbukti
gagal. Golkar, PDI-P, dan PPP mengandalkan jaringan utama yang diwariskan oleh
struktur politik partai itu dari masa Orde Baru. PBB mengandalkan sisa-sisa
penyokong Masyumi sebagai jaringan utama. PKS memanfaatkan jaringan dakwah
sebagai jaringan utama. Partai Demokrat tak punya jaringan utama semacam itu.
Maka, Partai Demokrat sejatinya “tak berkaki”.
Dalam konteks itulah SBY menjadi
bagian yang amat penting dari partai ini. Maka terbangunlah sekaligus tiga ancaman
krisis dalam tubuh Partai Demokrat, yaitu :
1. Krisis
Kepemimpinan
Sejak lahir Partai Demokrat sangat
bergantung pada figur SBY. Sudah menjadi bahan analisis banyak pengamat bahwa
faktor SBY sebagai magnet politik Partai Demokrat tergolong luar biasa. Salah
satu cirri Partai Demokrat adalah ketergantungan pada “figur besar”. Meniru
kecenderungan yang terjadi dipartai-partai pendahulunya, contohnya PDI-P dengan
Megawati Soekarno Putri, PAN dengan sosok Amien Rais, serta PKB dengan Gus Dur
atau KH. Abdurrahman Wahid.
Hidup dan masa depan Partai Demokrat
sedikit banyak bergantung pada sosok SBY. Dilihat dari perspektif apapun jelas
tak sehat, sehingga potensial partai ini sedikit tersendat-sendat untuk menjadi
partai modern. Ditengah situasi
yang khas Pemilu 2004 yaitu sambutan masyarakat atas pemilihan langsung
Presiden pertama sepanjang sejarah Republik Indonesia, semangat masyarakat
memperbaharui harapan mereka setelah dikecewakan oleh Pemilu 1999, SBY menjadi
ikon partai ini. Popularitas SBY pun terkerek naik dengan cepat dengan adanya
perseteruan SBY dengan Taufik Kiemas dan Bambang Kesowo.
SBY pun menjadi modal politik
terpenting bagi Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2004 dan dua putaran
Pemilu Presiden 2004. Ini membentuk hubungan khas diantara SBY dan Partai
Demokrat. Partai Demokrat ada dalam posisi lebih berutang kepada SBY daripada
sebaliknya. Secara politik, SBY pun jauh lebih besar dari partai yang
menyokongnya.
2. Krisis
Dukungan
Partai Demokrat memiliki potensi
untuk dengan cepat menjadi partai besar mengingat sejarah sosial dan politik
pembentukannya. Beberapa survey menunjukkan dukungan pemilih signifikan untuk
partai ini terutama bukanlah sebagai akibat dari pengorganisasian dan jaringan
partai yang rapi dan bekerja efektif. Melainkan pertama dan terutama karena
popularitas sang ikon, SBY dimata pemilih. krisis dukungan yang menjadi
tali-temali terhadap posisi central sosok SBY. keadaan Indonesia yang semrawut
menjadikan masyarakat berlomba-lomba mencari tatanan baru untuk mencari pemimpin
yang ideal bagi Indonesia. Kala itu, sosok SBY telah ditangkap oleh elemen
masyarakat sebagai tokoh ideal memimpin Indonesia.
3. Krisis
Identitas
Sejak terbentuk tahun 2001 dan
menjadi fenomenal dalam Pemilu 2004, Partai Demokrat tidak menampakkan identitas
ideologi dan orientasi program mereka secara jelas.
Basis sosial penyokong utama dan
pendukung partai inipun sebetulnya sulit diidentifikasi. Baik dalam pengertian
ideologi dan pengertian orientasi program juga sulit teridentifikasi secara
tegas. Sehingga partai ini ditandai dengan adanya identitas kepartaian yang
sangat kabur.
E. Si
Partai Biru masa kini
Demokrat
saat ini ibaratnya seperti kapal titanic, yang secara perlahan akan tenggelam
sambil menunggu waktu. Banyaknya kader Partai Demokrat (PD) yang terjerat
hukum, membuat citra partai berlambang bintang mercy ini kian menurun. Dimana
banyak elite Demokrat yang bermasalah.
Tidak sedikit petinggi Partai
Demokrat
terseret dalam kasus korupsi tersebut. Petinggi Partai Demokrat yang
bermasalah karena kasus korupsi diantaranya adalah: M. Nazaruddin (bekas
bendahara umum) telah divonis 4 tahun 10 bulan penjara dalam kasus Wisma Atlet,
Angelia Sondakh (wakil sekretaris jenderal) tersangka kasus suap Wisma Atlet
dan Proyek Universitas, Hartati Murdaya (bekas anggota dewan pembina) dalam
kasus dugaan suap Bupati Buol Amran Batalipu terkait izin lahan kelapa sawit,
Andi Mallarangeng (sekretaris dewan pembina) dalam kasus Wisma Atlet dan proyek
Stadion Hambalang , dan Anas Urbaningrum (ketua umum) dalam kasus proyek
Stadion Hambalang.
Sebelumnya juga, beberapa kader partai
ini telah divonis bersalah karena melakukan praktik korupsi. Misalnya As’ad
Syam (anggota DPR 2009-2014 Dapil Jambi), Yusran Aspar (anggota DPR 2009-2014
Dapil Kaltim), Sarjan Tahir (anggota DPR 2004-2009), Ismunarso (Bupati
Situbondo, Jatim, 2005-2010), dan Yusak Yaluwo (Bupati Boven Digoel, Papua). Fakta ini menunjukkan bahwa Partai
Demokrat sebagai partai yang berkuasa, dikotori oleh kader-kader yang korup.
Memang tidak ada partai politik di negeri ini yang bersih dari korupsi.
Banyaknya
petinggi PD yang bermasalah menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik
terhadap Demokrat. Penurunan popularitas SBY dan Demokrat sudah sangat jelas
mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada)
belakangan ini dan juga dalam Pemilu 2014 yang akan datang. Kekalahan Fauzi
Bowo (anggota dewan pembinan Demokrat) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta
putaran pertama yang lalu, tidak terlepas dari menurunnya kepercayaan
masyarakat Jakarta terhadap Demokrat. Tanpa ada pembenahan internal partai,
maka Demokrat akan mengalami nasib sial apalagi pada 2014 SBY tidak bisa
mencalonkan diri lagi sebagai presiden.
Dulu
di saat PD berjaya, tidak sedikit kepala daerah yang diusung oleh partai
non-Demokrat tetapi ketika dia terpilih justru menjadi Ketua Partai Demokrat di
tingkat daerah tersebut. Hal itu hanya demi menjaga posisi karena penguasa di
pusat berasal dari Demokrat. Tetapi sekarang dan ke depan, pilihan itu bisa
berubah 180 derajat karena SBY tak dijagokan lagi dalam Pemilu 2014.
Jika
tidak ada pembenahan di internal partai khususnya tindakan tegas terhadap
kadernya yang bermasalah, maka tidak tertutup kemungkinan partai yang berwarna
biru ini akan padam. Tetapi jika partai ini ingin bangkit dan bersinar lagi,
maka Demokrat harus berlari cepat dan di jalur yang tepat dalam pembenahan
internal dan kinerja kadernya. Selain itu tidak bisa dimungkiri, posisi SBY
sebagai presiden dan juga sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat, sangat
menentukan dalam memperbaiki citra partai dan meningkatkan kepercayaan publik.
Dan tingkat kepercayaan publik akan naik jika SBY menepati janjinya secara tegas
seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Partai
dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai
adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas
pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai adalah partai
politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik. Fungsi
partai politik diantaranya adalah sebagai sarana sosialisasi politik, rekrutmen
politik, komunikasi politik, artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan,
dan penghakiman kebijakan. Basis partai politik diantaranya adalah basis social
dan basis pendukung, sedangkan tipe partai politik secara umum diantaranya
yaitu partai kader, partai massa, partai proto, partai dictatorial, dan partai
catch all.
2. Di
masa reformasi partai politik di Indonesia masih didera berbagai masalah mulai
dari kepemimpinan politik, konflik internal, sumber daya keuangan, dan
pemenuhan sumber daya manusia yang berkualitas di partai politik. Selain
membebaskan pembentukan partai politik dan penggunaan asas partai, mencabut P4
dan menghilangkan floating mass,
secara umum format kepartaian pada awal era reformasi (1999) tidaklah banyak
berbeda dari warisan Orde Baru sebagai akibat masih kuatnya kelompok status quo di pemerintah dan parlemen.
Di era reformasi ini tidak ada partai politik yang bersedia duduk di kursi
oposisi dan kabinetpun menjadi pelangi.
3. Partai
Demokrat menjadi fenomenal karena dengan cepat partai ini menjadi besar.
Diulang tahunnya yang ketiga, pada 9 September 2004 sudah merayakan dua pesta
kemenangan, yaitu meraih sekitar 8 juta (7,8 %) pemilih atau 56 (10,18%) kursi
DPR dalam pemilu legislative 5 April 2004 dan
mengantar SBY-Kalla akhirnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
4. Tiga
ancaman krisis dalam tubuh Partai Demokrat, yaitu krisis kepemimpinan, krisis
dukungan, dan krisis identitas.
5.
Partai
Demokrat lemah saat ini yaitu disebabkan oleh banyaknya
kader Partai Demokrat yang terjerat hukum, membuat citra partai berlambang
bintang mercy ini kian menurun. Tidak sedikit petinggi Partai Demokrat terseret dalam kasus korupsi
tersebut dan banyaknya petinggi Partai Demokrat yang
bermasalah menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Partai
Demokrat. Penurunan popularitas SBY dan Demokrat juga sudah sangat jelas
mempengaruhi pilihan masyarakat.
B.
Saran
1.
Partai
Demokrat
a.
Partai Demokrat harus
melakukan pembenahan di internal partai khususnya tindakan tegas terhadap
kadernya yang bermasalah agar citra Partai Demokrat tidak kian menurun.
b.
Partai
Demokrat harus segera mengatasi tiga krisis utamanya yaitu krisis
kepemimpinan, krisis dukungan, dan krisis identitas.
c.
Partai Demokrat harus
lebih menjaga soliditas partai dan melakukan transformasi ke arah partai
modern.
d.
Partai Demokrat harus
melakukan ‘bersih-bersih’ partai dengan sekaligus menempuh langkah politik dan
upaya hukum.
e.
Partai Demokrat ke
depan harus berusaha tidak masuk lebih dalam lagi ke pusaran opini publik yang
sudah terlanjur memvonis pada kader-kader Partai Demokrat yang bermasalah.
2.
Masyarakat
Masyarakat
harus semakin kritis dalam melihat suatu wacana politik yang terjadi di
Indonesia. Setidaknya masyarakat ikut berpartisipasi dalam dunia politik negara
ini dan jangan sampai menjatuhkan pilihan kepada partai politik yang belum bisa
melaksanakan fungsinya sebagai partai politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Faizal,
Akbar. 2005. Partai Demokrat & SBY :
Mencari jawab sebuah masa depan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bottomore,
Tom. 1992. Sosiologi politik. Jakarta
: Rineka Cipta.
Amal,
Ichlasul. 1988. Teori-teori mutakhir
partai politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
Hamid,
A.Farhan. 2008. Partai politik local di Aceh : Desentralisasi Politik dalam
Negara kebangsaan. Jakarta : Kemitraan.
Safa'at, Much. Ali. 2011. Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan
Praktik pembubaran Parta Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta : Rajawali
Pers.
Mohammad Atik Fajardin
, 2012, Demokrat saat ini ibarat Kapal Titanic. http://nasional.sindonews.com. Diakses tanggal 17 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar