TEORI
KONFLIK
A. Pengantar
Manusia tak selamanya hidup dalam keadaan dan situasi yang
harmonis tanpa adanya ketegangan atau konflik. Konflik akan selalu ada dalam
kehidupan masyarakat, kapanpun dan dimanapun konflik dapat muncul. Dalam
kehidupan masyarakat antara orang yang satu dengan orang yang lain tak satupun
yang memiliki kesamaan yang persis, dalam artian pasti memiliki perbedaan.
Masing-masing lahir, disosialisasikan, dan memiliki sejarah sendiri-sendiri.
Konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu con yang artinya bersama dan fligere yang artinya tabrakan atau
benturan. Jadi, konflik sosial berarti benturan atau tabrakan yang terjadi
setidaknya antara dua pihak atau lebih baik benturan keinginan, pendapat,
kepentingan, dan lain sebagainya. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa
tak seorangpun dalam masyarakat yang memiliki persamaan yang persis. Diantara
mereka akan ada perbedaan yang dapat berupa perbedaan sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan lain sebagainya. Kepentingan, kemauan, tujuan, kehendak manusiapun
berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menimbulkan konflik dan
ketegangan. Konflik dapat bersifat positif dan negatif tergantung bagaimana
masyarakat menyikapi konflik itu sendiri. Jadi, yang terpenting adalah bukan
cara menghilangkan perbedaan dan konflik, akan tetapi bagaimana kita menyikapi
dan menyelesaikannya.
Teori konflik sendiri merupakan salah satu perspektif dalam
teori sosiologi yang memandang masyarakat yang baik dan sehat adalah masyarakat
yang terdapat konflik didalamnya. Masyarakat terdiri dari bagian-bagian atau
komponen-komponen yang memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh
klasik teori konflik yaitu Karl Marx dan Max Weber, sedangkan yang akan dibahas
adalah fenomena konflik dilihat berdasarkan teori konflik dari tokoh-tokoh
seperti Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randal Collins.
B. Permasalahan/Rumusan Masalah
Bagaimanakah
konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat jika dilihat dari
perspektif teori konflik ?
C. Pembahasan
1. Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme
struktural. Menurut Dahrendorf, jika fungsionalisme struktural memandang
masyarakat selalu dalam kondisi yang seimbang, teratur, dan statis maka berbeda
dengan teori konflik yang memandang masyarakat itu dinamis dan penuh konflik
(Ritzer, 2008 : 282). Jadi, teori konflik menjelaskan apa yang telah diabaikan
oleh fungsionalisme struktural yaitu tentang konflik dan perubahan. Memang
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak selamanya harmonis dan selalu
dalam keadaan equilibrium, ada konflik baik antar indivudu, antarkelompok,
maupun individu dengan kelompok.
Teori konflik Dahrendorf ini mengkritik teori Marx yaitu
tentang masyarakat tanpa kelas yang dianggap tidak dapat diuji dan diverifikasi
karena dalam kehidupan sosial masyarakat tanpa kelas tidak pernah ada. Selain
itu, terjadi perubahan dalam kapitalisme. Pertama, dekomposisi kapital yaitu
ada semacam penggolongan dalam kelas borjuis, contohnya dalam perusahaan ada
pemilik saham dan ada manajer perusahaan. Kedua, dekomposisi buruh atau pekerja
yaitu kaum buruh tidak lagi bersifat homogen namun heterogen ada yang mempunyai
keterampilan, ada yang tidak, dan ada yang berketerampilan semi. Ketiga, adanya
new middle class yaitu masyarakat menengah
baru. Keempat, mobilitas sosial yang meningkat. Kelima, hak-hak politik warga
negara yang diperbaiki. Keenam, adanya pelembagaan konflik kelas contohnya
seperti pengakuan hak-hak buruh untuk mogok kerja.
Dahrendorf sendiri tidak jelas dalam posisi teoritisnya.
Menurut Dahrendorf, teorinya adalah modifikasi teori Marx (Poloma, 1987 : 131).
Jadi, ketidakjelasan tersebut apakah posisi teoritisnya Marxian atau bukan,
karena teorinya setengah penolakan dan setengah penerimaan.
Dahrendorf menganggap masyarakat memiliki wajah ganda yaitu
konsensus dan konflik, keduanya dapat dibedakan namun tidak mungkin dipisahkan.
Tidak ada konflik jika sebelumnya tidak terjadi konsensus. Contohnya dua orang
yang berkonflik sebelumnya pasti telah berinteraksi, dua orang tersebut tidak
akan berkonflik jika sebelumnya tidak ada kontak diantara mereka.
Dalam masyarakat terdapat asosiasi-asosiasi seperti partai,
industri, negara dan lain-lain. Dahrendorf membagi dua kelas dalam setiap
asosiasi yaitu kelas yang memiliki otoritas dan tidak memiliki otoritas. Otoritas
atau kewenangan merupakan hak yang sah untuk memerintah orang lain. Otoritas
melekat pada jabatan dan posisi, bukan pada diri individu. Contohnya Joko
Widodo sebagai gubernur DKI Jakarta memerintah para pegawai di lingkungan
pemprov DKI. Bukan seorang Jokowi yang memerintah, tetapi jabatannya sebagai
gubernurlah yang memerintah. Otoritas tersebut melekat pada jabatan gubernurnya
bukan pada diri individu yaitu Jokowi. Jika Jokowi tidak menjabat sebagai
gubernur maka ia tidak berwenang untuk memerintah, yang berwenang adalah
gubernur. Jadi, jabatan gubernurlah yang membuat Jokowi berwenang.
Konflik dapat muncul karena distribusi kewenangan yang tidak
merata. Ada mereka yang memiliki kewenangan dan tidak, konflik akan timbul
karena dua kelas tersebut memiliki kepentingan yang berbeda. Mereka yang memiliki
kewenangan akan berusaha mempertahankan kewenangannya dan tetap dominan.
Sedangkan mereka yang tidak memiliki kewenangan akan berusaha membuat perubahan
dengan cara menentang dan berjuang mengubah ketidakwenangannya menjadi
berwenang.
Dahrendorf juga mengemukakan adanya kelompok semu, kelompok
manifes, kelompok kepentingan, kepentingan semu, kepentingan manifes. Kelompok
semu merupakan kelompok dengan kepentingan semu atau laten. Saat kelompok semu
tersebut mengembangkan kesadarannya menjadi kelompok manifes. Kelompok
kepentingan atau interest groups
melakukan perlawanan untuk memperjuangkan kepentingannya.
Contoh situasi konflik saat pemerintah mengubah pasar
tradisional dengan membangun pasar yang lebih modern dan merelokasi pedagang
pasar tradisional. Sesuai teori Dahrendorf, terdapat dua kelas yaitu kelompok
yang tidak memiliki kewenangan, dalam hal ini para pedagang pasar dan kelompok
yang memiliki otoritas yaitu pemerintah. Terjadi konflik dimana para pedagang
menolak rencana pemerintah tentang pasar modern karena berbagai alasan. Awalnya
mungkin hanya sebagian kecil pedagang yang merasa kebijakan tersebut kurang adil,
namun kemudian para pedagang bersatu dan ada juga Asosiasi Pedagang Seluruh
Indonesia untuk melakukan perlawanan dengan cara demonstrasi. Dengan adanya
demostrasi tersebut maka pemerintah dan para pedagang melakukan perundingan
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
2. Teori Konflik Lewis Coser
Konflik sering dianggap sebagai penyebab perubahan sosial.
Lewis Coser memiliki pendapat yang berbeda bahwa konflik tak sepenuhnya
negatif. Konflik dapat menimbulkan ketidakstabilan dan atau kehancuran, akan
tetapi di sisi lain terdapat fungsi dari konflik sosial tersebut.
Konflik memiliki beberapa fungsi positif. Menurut Poloma,
fungsi positif tersebut terlihat pada kelompok yang sedang berkonflik dengan
kelompok lain (1987 : 108). Jadi, fungsi konflik dalam kehidupan sosial dapat
dilihat pada konflik antara kelompok dengan out
group. Coser melihat konflik dapat berfungsi untuk mempertahankan keutuhan
kelompok, fungsi konflik tersebut antara lain pertama, konflik suatu kelompok
dengan kelompok lain dapat membuat kelompok tersebut semakin kuat
solidaritasnya, anggota-anggota dalam kelompok tersebut semakin solid, kuat,
dan bersatu dalam menghadapi ancaman dari luar. Contohnya kelompok A berkonflik
dengan kelompok B, dalam menghadapi konflik dengan kelompok B anggota kelompok
A semakin memperkuat rasa solidaritasnya, begitu juga kelompok B.
Kedua, solidaritas yang telah dijelaskan pada poin pertama
dapat menimbulkan aliansi-aliansi suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Contohnya Indonesia memiliki konflik dengan Malaysia, dengan begitu Indonesia
menjalin hubungan yang erat dengan Australia. Jika konflik dapat diselesaikan,
kemungkinan ikatan hubungan Indonesia dengan Australia menjadi kendur. Ketiga,
anggota-anggota kelompok yang dulunya pasif bisa menjadi lebih aktif dengan
adanya konflik. Contohnya, saat orde baru banyak menuai protes terdapat tokoh
yang awalnya tidak kenal akhirnya tampil di depan untuk ikut serta dan menjadi
lebih aktif. Keempat, fungsi konflik untuk komunikasi. Contohnya saat suatu
kelompok berkonflik dengan kelompok lain maka anggota-anggota kelompok akan
merundingkan apa yang akan dilakukan dan bagaimana mereka harus menyikapi dan
menyelesaikan konflik tersebut.
Konsep lain yang dikemukakan Coser adalah Savety Valve atau katup penyelamat.
Lembaga savety-valve dapat berfungsi
untuk mengatur konflik. Contohnya dalam memberantas korupsi terdapat suatu
lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga KPK ini terdiri dari pihak-pihak
yang netral. Contoh lain adalah badan perwakilan mahasiswa.
Ada juga konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik
realistis sumbernya konkret contohnya karyawan yang mogok kerja dan melawan
manajemen masalah gaji. Sedangkan, konflik non realistis cenderung bersifat
ideologis, contohnya seseorang yang memiliki konflik dengan orang dan melakukan
balas dendam dengan ilmu ghaib.
3. Teori Konflik Randal Colllins
Collins merupakan tokoh teori konflik yang lebih menyukai
teori yang bersifat mikro dan berada pada level individu. Ia sendiri tidak
menganggap konflik itu baik ataukah buruk, ia lebih melihat konflik sebagai
sebuah proses yang sentral dalam kehidupan sosial manusia. Iapun menganalisis
teori stratifikasi sosial Marx dan Weber, kemudian mengemukakan teori konflik
stratifikasi miliknya sendiri.
Konflik dapat terjadi dalam lingkup keluarga. Menurut
Collins, laki-laki dianggap lebih dominan daripada perempuan (Ritzer, 2008 :
291). Dalam keluarga, relasi antara suami dan istri dianggap dapat menimbulkan
konflik. Suami dianggap mendominasi istri. Suami dianggap berkuasa atas istri
dan anak-anaknya. Konflik yang terjadi antara suami istri dapat digambarkan
dengan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami
terhadap istrinya.
Konflik juga dapat terjadi antar generasi. Orang dewasa dan
anak-anak muda dapat berkonflik dimana orang dewasa merasa memiliki sumber daya
yang lebih dibandingkan dengan anak-anak muda seperti pengalaman. Contoh
konflik antar generasi juga dapat dilihat dalam lingkup keluarga seperti orang
tua yang otoriter melarang anaknya bepergian ke suatu tempat.
D. Kesimpulan
Konflik adalah hal yang nyata dalam kehidupan sosial
masyarakat. Konflik sosial dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, dimana
saja, dengan berbagai alasan dan sebab, dan juga beragam. Konflik sosial dalam
masyarakat dapat dianalisis dengan pendekatan teori konflik dari beberapa tokoh
yaitu Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randal Collins.
Dahrendorf melihat konflik karena masalah otoritas yang
berbeda, ada yang memiliki otoritas ada yang tidak atau belum memiliki otoritas
sehingga konflik terjadi antara dua kelas tersebut . Kemudian Dahrendorf juga
mengemukakan adanya kelompok semu, kelompok manifes, kelompok kepentingan,
kepentingan laten, kepentingan manifes. Coser sendiri lebih melihat fungsi
positif konflik bagi masyarakat. Konflik dapat berfungsi untuk komunikasi,
mempererat hubungan dalam kelompok, menimbulkan aliansi, dan membuat
anggota-anggota masyarakat lebih berperan aktif. Tokoh terakhir yaitu Collins
yang mengembangkan teori konflik yang lebih integratif dengan analisis level
mikro. Ia membahas konflik yang terjadi antara laki-laki dan perempuan serta
antara generasi muda dan generasi tua.
DAFTAR PUSTAKA
Poloma,
Margaret M. 1987, Sosiologi Kontemporer,
Cetakan ke-2, Penerbit CV Rajawali, Jakarta.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2008, Teori
Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern, Cetakan ke-1, Kreasi Wacana Offset, Bantul.
_______
. 2007, Teori Sosiologi Modern,
Cetakan ke-4, Penerbit Kencana
Prenada Media Group, jakarta.
Reader Bahan Bacaan Teori
Sosiologi Modern, Lab. Sosiologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar