FENOMENA
BUNUH DIRI DAN PENDIDIKAN MORAL DALAM KACA MATA SEORANG SOSIOLOG MORALITAS EMILE
DURKHEIM
Bunuh diri (Suicide)
merupakan karya Durkheim yang sangat terkenal. Karya Durkheim yang satu ini
berisi tentang studi Durkheim terhadap suatu fenomena yang bukanlah hal baru
dalam masyarakat yaitu bunuh diri. Suicide
berhasil menunjukkan kekuatan dan eksistensi dari disiplin sosiologi. Durkheim
juga mampu menjelaskan fenomena bunuh diri serta mematahkan berbagai perspektif
ilmu alam (natural science) dalam mengungkap
masalah-masalah sosial seperti bunuh diri.
Saat ini telah terjadi
pergeseran nilai-nilai moral dalam masyarakat. Lantas kasus bom bunuh
diri yang marak terjadi di Indonesia dengan mengatasnamakan agama dan jihad,
serta harakiri dan kasus pelajar yang
bunuh diri karena terlalu dikekang orang tua, apakah disebabkan karena faktor
psikologis, faktor biologis, atau sebab lainnya serta bagaimana upaya
seharusnya dilakukan untuk menjaga kesehatan moral masyarakat. Disinilah
Durkheim memperlihatkan kekuatan disiplin sosiologi dalam menganalisi fenomena
bunuh diri yang marak terjadi di masyarakat.
Menurut perspektif psikologis, seseorang melakukan bunuh
diri karena banyak hal menyangkut mental atau psikis orang tersebut. Misalnya
karena stres atau depresi atau frustasi, sakit jiwa, dan idiot. Bunuh diri
tidak akan dilakukan oleh orang yang sehat jiwanya. Sedangkan menurut
perspektif biologis, bunuh diri dianggap fenomena yang berhubungan dengan turun
temurunnya gen, sehingga membawa kecenderungan bunuh diri tersebut. Durkheim
mematahkan satu persatu berbagai pendapat atau faktor-faktor alamiah dengan
cara menganalisis fenomena bunuh diri tersebut dengan pendekatan fakta sosial.
Penelitian Emile Durkheim tentang fakta sosial dalam hal suicide rate ini terkenal dan begitu memperlihatkan eksistensi dan
kekuatan sosiologi dalam mengkaji berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat.
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud pendekatan fakta sosial yang digunakan oleh
Durkheim dalam menggempur berbagai perspektif seperti psikologis dan biologis.
Fakta
Sosial
Terlebih dahulu kita mengenal dan memahami mengenai fakta
sosial yang dikemukakan oleh sang sosiolog moralitas, Emile Durkheim. Pemikiran
Durkheim mengenai fakta sosial tertuang dalam The Rules of Sociological Method. Menurut Durkheim, fakta sosial
adalah kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak dan berfikir, serta merasakan yang
berasal dari masayarakat. Dari pengertian inilah terlihat bahwa Durkheim
memiliki pandangan yang berbeda dimana umumnya masyarakat dalam melihat
fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari disebabkan oleh individu.
Tetapi Durkheim lebih mengutamakan sosial daripada individu. Fakta sosial
sendiri memiliki sifat atau karakteristik tertentu. Fakta sosial haruslah
bersifat eksternal bukan dorongan internal pada individu artinya berada di luar
individu, umum, dan memaksa individu sehingga individu terlepas dari
kemauan-kemauannya sendiri.
Contoh fakta sosial dalam kehidupan sehari-hari misalnya
semua siswa dan siswi dalam sekolah harus memakai seragam, datang ke sekolah
tepat waktu, absen. Hal-hal tersebut terdapat dalam aturan dan tata tertib
sekolah, yang jika dilanggar akan mendapatkan sanksi tertentu. Dari contoh
tersebut terlihat bahwa aturan tentang memakai seragam, absen, datang tepat
waktu berasal dari luar individu yaitu berasal dari aturan di sekolah. Aturan
tersebut memaksa individu yaitu siswa. Dengan adanya aturan tersebut, maka
siswa dan siswi di sekolah dipaksa untuk mengikuti aturan tentang memakai
seragam, absen, datang tepat waktu karena jika hal tersebut dilanggar akan ada
sanksi tersendiri. Dengan adanya absen, siswa dan siswi juga dipaksa untuk
menghadiri kegiatan belajar mengajar. Aturan-aturan tersebut berlaku umum bagi
siswa siswi yang bersekolah.
Durkheim membagi fakta sosial menjadi fakta sosial
material dan nonmaterial. Fakta sosial material adalah sesuatu yang dapat
disimak atau diamati secara langsung. Contohnya adalah bentuk teknologi, hukum,
dan perundang-undangan. Hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat,
memiliki tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Misalnya terdapat sebuah
aturan atau undang-undang menyebutkan bahwa setiap pengguna sepeda motor
diwajibkan memakai helm yang memenuhi standar. Hal tersebut memiliki tujuan
agar terciptanya masyarakat yang aman dan tertib dalam berlalu lintas. Aturan
tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang berkendara menggunakan sepeda motor,
berasal dari luar individu yaitu dari sebuah undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan memaksa
individu dimana akan ada sanksi bagi yang melanggar.
Fakta sosial nonmaterial sendiri adalah sesuatu atau
fenomena yang muncul dari dalam kesadaran manusia. Dalam fakta sosial material
sering mencerminkan kekuatan moral yang disebut dengan fakta sosial
nonmaterial. Contoh fakta sosial nonmaterial adalah norma, nilai, budaya atau
kultur. Individu tidak bisa bertindak semau mereka sendiri karena terdapat
norma yang mengatur tentang cara berperilaku yang diajarkan oleh orang tua,
atau sekolah. Nilai sendiri merupakan sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam
masyarakat, sifatnya abstrak. Misalnya, mencontek dianggap buruk sedangkan
jujur dianggap baik.
Bunuh
diri
Studi Durkheim tentang bunuh diri dalam Suicide adalah usaha Durkheim untuk
menjelaskan fenomena bunuh diri dalam masyarakat menggunakan data kuantitatif
yaitu dengan suicide rate. Bukan
alasan mengapa individu melakukan bunuh diri, melainkan mengapa angka bunuh
diri dari satu masyarakat berbeda (lebih tinggi atau lebih rendah) bila
dibandingkan dengan masyarakat yang lain. Iapun membedakan bunuh diri menjadi
empat tipe yaitu bunuh diri egoistis, bunuh diri altruistis, bunuh diri anomik,
dan bunuh diri fatalistis.
Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang disebabkan
karena integrasi yang rendah dimana masyarakat yang didalamnya terdapat
individu yang tidak berhubungan baik. Contohnya angka bunuh diri orang yang
tidak memiliki atau belum berkeluarga lebih tinggi dibanding mereka yang
memiliki keluarga. Mereka yang tinggal sendiri, mereka yang berpisah atau
bercerai memiliki kemungkinan melakukan bunuh diri dikarenakan kurangnya
integrasi dalam keluarga. Sedangkan dalam bidang agama, kaum protestan memiliki
angka bunuh diri yang lebih tinggi dibanding dengan orang-orang penganut
katholik. Hal tersebut terjadi karena ajaran agama protestan lebih
menitikberatkan keimanan individual, sehingga tingkat integrasinyapun rendah.
Bunuh diri yang kedua adalah bunuh diri altruistis. Bunuh
diri altruistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egositis dimana bunuh diri
terjadi karena integrasi yang kuat atau tinggi. Contohnya para teroris yang
melakukan bom bunuh diri dimana mereka tergabung dalam suatu kelompok yang
integrasinya kuat sehingga individu-individu didalamnya rela mati bunuh diri.
Mereka menganggap bunuh diri adalah tugas mereka sebagai pengikut kelompok
tersebut tujuannya adalah demi kebaikan yang lebih besar.
Bunuh diri altruistis dibedakan menjadi dua yaitu obligatory dan optional. Obligatory
adalah bunuh diri yang terjadi karena seseorang berkeyakinan bahwa bunuh diri merupakan
suatu kewajiban. Contohnya pada masyarakat India Kuno terdapat suatu tradisi
yang disebut Suttee dimana seorang
istri membakar diri ke dalam api pembakaran jenazah suaminya. Hal tersebut
dianggap sudah kewajiban seorang istri terhadap suaminya yang berarti integrasi
antara keduanya adalah tinggi atau kuat. Sedangkan optional merupakan bunuh diri yang bertujuan untuk memperoleh
penghargaan. Contohnya pada masyarakat Jepang dimana terdapat suatu tradisi
yaitu harakiri atau di Jepang dikenal
dengan istilan Seppuku. Harakiri
dilakukan misalnya oleh seorang samurai atau militer yang dianggap gagal dalam
menjalankan tugasnya, atau saat mereka tertangkap musuh karena mereka beranggapan
bahwa lebih baik mati bunuh diri daripada ditangkap dan disiksa oleh musuh. Harakiri dianggap terhormat karena
mereka yang melakukan harakiri
berarti mereka memiliki keberanian yang luar biasa. Alasan lain seseorang
melakukan harakiri adalah tidak bisa
menahan malu baik karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik maupun malu
karena memang telah melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Di Indonesia terdapat
tradisi Carok yang merupakan tradisi orang Madura dalam mempertahankan kehormatan
atau harga diri dengan cara bertarung menggunakan senjata yaitu celurit. Carok
bisa dipicu karena perebutan kekuasaan, konflik turun menurun, perselingkuhan,
perebutan tanah, dendam, dan lain sebagainya.
Selanjutnya adalah bunuh diri anomik. Bunuh diri anomik
disebabkan karena regulasi yang rendah atau tidak jelas. Norma dan kontrol
dalam masyarakat lemah, misalnya saat terjadi krisis di bidang ekonomi. Krisis
di bidang ekonomi berarti terjadi sebuah perubahan sosial yang cukup drastis
mengakibatkan lemahnya atau tidak jelasnya norma-norma yang mengatur dalam
masyarakat. Individu bunuh diri karena tidak bisa menghadapi perubahan yang
drastis tersebut selain itu faktor lingkungan yang penuh dengan tekanan
menjadikan individu stres, depresi, atau frustasi yang dapat mendorongnya untuk
melakukan bunuh diri.
Tipe bunuh diri yang terakhir adalah bunuh diri
fatalistis. Bunuh diri fatalistis merupakan kebalikan dari bunuh diri anomik
yaitu justru disebabkan karena norma yang mengatur terlalu kuat (regulasi
terlampau kuat). Contohnya terjadi pada budak yang bunuh diri karena hidupnya
dikekang dan diatur oleh majikannya. Contoh lain adalah kasus seorang anak yang
bunuh diri karena disiplin yang ketat dan aturan yang begitu mengekang dari
orang tua yang terlalu mengontrol atau over
protective. Misalnya orang tua yang menuntut anaknya untuk menjadi anak
yang pintar atau terbaik di sekolahnya sehingga anaknya diperintahkan untuk
belajar dan belajar, dilarang bermain, mengikuti les-les, semua kegiatannya
diatur oleh orang tuanya dan anak harus menuruti apa yang diinginkan orang
tuanya. Keinginan orang tuanya mungkin berseberangan dengan keinginan sang
anak, dan ketika sang anak terpaksa mengikuti aturan orang tuanya bisa jadi dia
tidak siap atau tidak mampu menjalankan apa yang diperintahkan orang tuanya.
Berdasarkan penjelasan diatas, Durkheim dengan fakta
sosialnya berhasil mematahkan perspektif atau pandangan baik psikologis maupun
biologis dengan menggunakan pendekatan fakta sosial. Dalam perspektif
psikologis menyebutkan bahwa seseorang yang bunuh diri disebabkan oleh keadaan
orang tersebut yang sakit jiwa, stres, dan idiot. Akan tetapi, menurut Durkheim
indikasi kegilaan dan stress lebih disebabkan karena integrasi individu dengan kelompok
atau komunitasnya yang lemah. Individu merasa bahwa dia bukanlah bagian dari
masyarakat. Sedangkan, faktor biologis menyebutkan bahwa bunuh diri terkait
dengan turun-temurunnya gen, yang membawa kecendrungan bunuh diri tersebut.
Sebagai contoh di Jerman yang dianggap memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
Durkheim memiliki cara pandang yang berbeda bahwa penyebab bunuh diri di Jerman
lebih karena faktor yang terdapat dalam kehidupan sosial seperti agama, status
sosial, masyarakat rural urban, dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa
baik kasus bom bunuh diri (bunuh diri altruitik) maupun harakiri (bunuh diri
altruistik, optional) bukanlah disebabkan faktor psikologis atau biologis,
melainkan karena ada faktor dalam kehidupan sosial yaitu karena integrasi dalam
kelompok yang terlampau kuat atau integrasi kuat. Serta pelajar yang bunuh diri
karena orang tua yang over protective
disebabkan karena regulasi yang terlampau kuat. Durkheim dengan
kecermelangannya mampu menunjukkan betapa sosiologi memiliki kekuatan dan
eksistensi.
Moral Education
Seperti telah
diketahui bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai moral dalam
masyarakat. Kasus bunuh diri menjadi marak baik dilakukan orang tua, muda, kaya
miskin, pelajar, dan lain sebagainya. Kacaunya tatanan sosial yang cenderung
tanpa moralitas, yang mendorong seseorang menjadikan bunuh diri sebagai pilihan
terbaik. Durkheim adalah seorang sosiolog yang menempatkan moralitas sebagai
kajian utama dalam hidupnya. Menurut Durkheim, moralitas haruslah dilihat
sebagai suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan-keinginan
individu atau subyektif. Ia menekankan
pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi yang bermoral dan
pendidikan dalam hal ini sekolah dianggap sebagai jalur yang tepat dalam
membentuk pribadi-pribadi yang dididik agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Durkheim menerapkan program pendidikan moral
pada anak-anak dengan pengajaran disiplin, keterikatan dengan masyarakat, dan
kemandirian.
Pendidikan
moral diberikan di lembaga pendidikan contohnya di sekolah. Sekolah merupakan
lembaga yang penting bagi perkembangan moral anak. Di sekolah seorang anak di
beri pendidikan moral misalnya melalui penanaman disiplin. Di sekolah terdapat
sejumlah tata tertib dan peraturan, individu akan menyadari bahwa ia diwajibkan
untuk mematuhi tata tertib dan aturan tersebut. Pendidikan moral dalam sekolah
juga dilakukan misalnya dengan adanya pendidikan moral Pancasila atau
pendidikan kewarganegaraan. Pancasila sebagai pedoman hidup serta dasar negara
dijadikan dasar penentu pendidikan moral di Indonesia. Untuk itu diharapkan
setiap individu baik sikap dan perilakunya harus sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila tersebut. Prose internalisasi nilai-nilai pancasila
dapat ditempuh lewat jalan pendidikan sebagai sarana mewujudkan pribadi yang
dijiwai nilai-nilai luhur pancasila.
Ada
juga pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu mata
pelajaran dalam sekolah yang memiliki visi utama yaitu pendidikan nilai
demokrasi, pendidikan sosial, pendidikan moral, dan pendidikan politik. Dan
yang dianggap paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan
moral. Nilai-nilai itu tentunya bukan hanya untuk diketahui, dimengerti,
difahami dan dihayati akan tetapi juga harus dilaksanakan atau diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar