Analisis
dari Kasus Kliping
1. Intisari
Kliping
Masyarakat di beberapa
desa di kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mempunyai sebuah tradisi yang disebut nitik. Nitik sejak dari dulu oleh masyarakat Trenggalek bukan hanya
sekedar tradisi, tetapi juga sebagai kegiatan yang bertujuan memperoleh
pendapatan. Nitik adalah kegiatan
memecah batu-batuan yang dilakukan secara tradisional menggunakan alat yaitu
martil.
Sekitar 10 tahun yang
lalu, warga Trenggalek banyak yang mengandalkan batu-batuan sebagai sumber
pendapatan tambahan selain dari hasil pertanian dan pekerjaan yang lainnya.
Batu-batuan yang akan dipecah diperoleh dari warga yang lain yang berprofesi
sebagai pencari batu atau petambang. Batuan ditambang di wilayah sekitar desa
atau di lahan milik warga sendiri. Batuan juga dapat diambil dari sungai.
Batuan hasil nitik memiliki berbagai kegunaan.
Dilihat dari ukurannya, batu-batuan yang besar dimanfaatkan misalnya dalam
pembuatan tanggul kali atau sungai dan juga dalam pembuatan jalan yaitu sebagai
bahan lapisan dasar aspal jalan. Sedangkan batuan yang kecil biasanya digunakan
untuk bahan bangunan yaitu sebagai bahan campuran semen atau cor beton.
Nitik
biasanya dilakukan oleh kaum perempuan yaitu untuk mengisi waktu senggang saat
suami sedang bekerja di sektor publik. Namun, laki-laki juga banyak yang
menjadi penitik (sebutan bagi pemecah
batu) karena kegiatan memecah batu dianggap memiliki nilai tambah yang lumayan
apalagi kegiatan nitik dapat
dilakukan saat waktu luang atau sebagai pekerjaan sampingan sehingga tidak
mengganggu pekerjaan utama laki-laki. Batuan hasil nitik bisa dijual setiap saat, sehingga sifatnya kontinu. Hal
tersebut tentu berbeda dengan sektor pertanian, perkebunan, dan lainnya yang
hasilnya tidak tentu, harga barangnyapun naik turun.
Dengan berkembangnya teknologi yang begitu
pesatnya, masuklah mesin pemecah batu. Mesin pemecah batu tersebut tentu lebih
canggih dan modern, tidak membutuhkan tenaga manusia karena seluruh batuan
dipecahkan menggunakan mesin. Hal tersebut berdampak pada kegiatan nitik masyarakat Trenggalek yang tidak
seramai dulu. Karena hasil nitik
menggunakan martil secara manual tentu kalah saing dengan mesin pemecah batu.
Mesin pemecah batu dapat memecahkan batu-batuan dengan waktu yang tidak terlalu
lama, hasilnyapun tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan cara
tradisional.
Cara tradisional
dianggap tidak efisien, karena jika pembeli membutuhkan batuan maka harus
menunggu sampai penitik selesai memecah batuannya. Jika dengan cara tradisional
waktu yang dibutuhkan sampai dua minggu, dengan mesin pemecah batu dapat
menghasilkan batuan hingga 21 rit per hari. Hasilnya tentu berbeda jauh antara
cara tradisional dengan menggunakan alat modern yang canggih.
Selain cara memecah
batu yang berubah dari tradisional menjadi modern, cara mencari batu juga
berubah. Awalnya masyarakat menggunakan cara tradisional dengan mencari batuan
menggunakan serok dari bahan anyaman bambu di wilayah sekitar tempat tinggal
mereka atau di sungai, dengan berkembangnya teknologi masyarakat beralih ke
cara modern yaitu dengan cara blosting
atau menggunakan bahan peledak untuk mengahancurkan batu-batu masif.
Ada beberapa hal lain
yang menyebabkan kegiatan nitik di
Trenggalek sudah tak seramai dulu. Selain karena perkembangan teknologi dengan
masuknya mesin pemecah batu dan blosting,
regenerasi dari para penitik sendiri
tidak ada. Para penitik usianya sudah
tua, tenaganya tentu tidak kuat lagi untuk mengayunkan martil dan memecah
batu-batuan. Sedangkan mereka yang masih muda tidak ada yang menggantikan penitik yang sudah tua, mereka lebih
senang bekerja di kota atau ke luar negeri sebagai buruh migran.
Dengan tidak adanya
regenerasi dan alat-alat serta cara-cara modern yang masuk meggantikan cara
tradisional menjadikan tradisi nitik
masyarakat Trenggalek, Jawa Timur mulai terpinggirkan. Mesin menggantikan
tenaga manusia, cara tradisional atau sederhana tergeser oleh cara yang lebih
modern sehingga terjadi perubahan yang tentu membawa dampak bagi kehidupan
masyarakat Trenggalek
2. Teori
Perubahan Sosial yang Digunakan
Perubahan sosial dapat
disebabkan berbagai faktor yang bersifat eksternal maupun internal dalam
masyarakat. Faktor internal sendiri salah satunya adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Teknologi telah membuat tradisi nitik masyarakat Trenggalek mulai terpinggirkan karena banyak warga
yang mulai meninggalkan profesi sebagai penitik
karena cara tradisional tergeser dengan adanya mesin pemecah batu yang lebih
modern dan efisien tentunya.
Untuk menjelaskan kasus
tradisi nitik yang mulai terpinggirkan dengan masuknya mesin pemecah batu yang
menimbulkan dampak dan perubahan, dipakailah teori perubahan sosial. Banyak
ahli yang mengemukakan tentang teori perubahan sosial. Teori perubahan sosial
yang digunakan antara lain yaitu teori evolusi (Evolusionary Theory).
Dalam konsep teoritis
yang dikemukakan oleh para ahli ini dinyatakan bahwa evolusi memengaruhi cara
pengorganisasian masyarakat, utamanya adalah yang berhubungan dengan sistem
kerja. Ferdinan Tonnies sendiri melihat bahwa masyarakat berubah dari tingkat
peradaban sederhana ke tingkat peradaban yang lebih kompleks.
Beberapa sosiolog
berpendapat bahwa terdapat kondisi-kondisi primer yang menyebabkan terjadinya
perubahan. Kondisi tersebut bisa merupakan kondisi geografis, ekonomis,
teknologis, atau geologis yang dapat menyebabkan perubahan pada berbagai aspek
kehidupan sosial lainnya. William Ogburn sendiri lebih menekankan pada aspek
kondisi teknologis. Seperti yang terjadi di Trenggalek bahwa tradisi nitik yang bukan hanya sekedar tradisi
tetapi juga sebagai bentuk kegiatan ekonomis mulai terpinggirkan dengan
masuknya teknologi. Hal tersebut tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Kaum
evolusioner memandang perubahan sosial mempunyai arah yang jelas, tetapi
berjalan secara bertahap. Perubahan disebabkan oleh persoalan lebih ditekankan
pada persoalan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat. Perubahan yang
terjadi pada masyarakat Trenggalek adalah kegiatan nitik yang awalnya dilakukan secara tradisional menggunakan martil
berubah menjadi cara modern dengan menggunakan teknologi yang canggih yaitu
mesin pemecah batu.
Dalam teori evolusi
terdapat tiga macam teori yaitu unilinear, universal, dan multilinear. Unilinier Theories of Evolution sendiri melihat
bahwa manusia serta masyarakat juga kebudayaannya mengalami perkembangan sesuai
dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk kehidupan yang sederhana ke bentuk
kehidupan yang modern (kompleks).
Sedangkan dalam teori
neo-evolusi, Sahlin dan Service mengemukakan bahwa masyarakat yang telah
mengalami evolusi tahap lanjut memiliki ciri-ciri yaitu cara masyarakat
mengeksploitasi lingkungan lebih efisien dan variatif, lebih mampu beradaptasi
dengan lingkungan, dan cenderung mendominasi dan menggantikan tipe masyarakat
yang kurang maju. Pada masyarakat Trenggalek dimana mereka yang sudah mulai
menggunakan teknologi dalam mengeksploitasi alam lebih efisien menggunakan
mesin pemecah batu. Mereka akan lebih mendominasi dan menggantikan penitik yang masih menggunakan cara
tradisional, karena konsumen sendiri pasti akan memilih cara yang cepat.
3. Analisis
Kasus
Setiap masyarakat pasti
mengalami perubahan. Perubahan sosial tersebut tak selamanya berarti kemajuan,
perubahan tersebut dapat berarti kemunduran. Kehidupan sosial sendiri selalu
dinamis. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa masalah jangka waktu dan persepsi
tentang perubahan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, di dalam pengalaman
manusia (1983 : 38).
Perubahan sosial
menurut Hans Garth dan C. Wright Mills didefinisikan sebagai apa pun yang
terjadi (kemunculan, perkembangan, dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu
terhadap peran, lembaga, atau tatanan yang meliputi struktur sosial (Elly M.
Setiadi & Usman Kolip, 2011 : 610). Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan
sosial merupakan segala sesuatu yang terjadi, bukan hanya muncul dan berkembang
tetapi juga kemunduran yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Masyarakat desa sendiri memiliki ciri-ciri
yaitu warga masyarakatnya yang memiliki hubungan yang erat, hidup di pedesaan,
sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan, dan lain sebagainya.
Perubahan sosial dapat
dipengaruhi berbagai faktor baik dari dalam maupun luar masyarakat sendiri.
Faktor internal masyarakat misalnya perubahan pada kondisi sosial, ekonomi
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Selo Soemardjan
sumber perubahan sosial meliputi faktor biologi, teknologi, dan ideologi.
Tradisi masyarakat Trenggalek yaitu nitik
mulai terpinggirkan dengan datangnya teknologi. Dalam melihat kasus tersebut,
dapat dilihat bahwa sumber perubahan sosialnya adalah teknologi.
Penemuan-penemuan
teknologi telah menyebabkan perubahan sosial yang sangat luas dalam masyarakat.
Teknologi dapat mempengaruhi setiap aktivitas, tindakan, serta perilaku
manusia. Apalagi dengan adanya globalisasi yang telah merubah wajah dunia dimana
sekat diantara negara-negara seolah hilang, duniapun seolah menjadi tanpa
batas. Ternyata arus globalisasi tidak luput menghampiri masyarakat, tak
terkecuali pada masyarakat pedesaan yang sering dilukiskan sebagai masyarakat
yang masih tradisional. Perkembangan teknologi begitu pesat, terjadi pula
modernisasi. Menurut Dr Phil. Astrid S. Susanto modernisasi yang merupakan
suatu perubahan total dari suatu masyarakat dalam keadaan tradisional menuju
suatu masyarakat yang “maju” (1983 : 180). Jadi, modernisasi dapat berarti
perubahan dari tradisional menjadi lebih modern.
Yang menjadi fokus
perhatian adalah masuknya teknologi dan inovasi-inovasi yang tidak hanya
memberikan dampak positif melainkan juga memberikan dampak negatif. Sudah
berpuluh-puluh tahun kegiatan memecah batu-batuan masyarakat di beberapa desa di
Kabupaten Trenggalek menggunakan martil. Namun dengan datangnya mesin pemecah
batu, tradisi nitik (memecah batu
secara tradisional) mulai ditinggalkan dan tidak seramai dulu. Masyarakat beralih
pada mesin pemecah batu yang dianggap lebih mudah, lebih cepat, dan lebih
praktis. Daerah di Trenggalek yang masih banyak penitik adalah Sawahan dan Margomulyo yang wilayahnya jauh ke
selatan.
Tradisi nitik bisa dilakukan oleh perempuan
maupun laki-laki. Namun, karena laki-laki biasanya bekerja sehingga nitik biasanya dilakukan kaum perempuan
untuk mengisi waktu luang. Tujuannya tentu untuk mencari tambahan pendapatan. Nitik dianggap memiliki kelebihan
dibandingkan dengan usaha di sektor perkebunan, pertanian, dan lain sebagainya.
Dimana sektor pertanian atau perkebunan hasil yang didapatkan tidak tentu dan
harganyapun naik turun.
Kaum laki-laki ternyata
juga menjadi penitik namun kebanyakan
bukan menjadi sumber pendapatan utama melainkan sebagai pekerjaan sampingan.
Contohnya adalah Mubin yang menjabat sebagai perangkat desa. Pada hari kerja,
Mubin nitik sejak pukul 06.00-08.00
dan melanjutkan nitik sepulang kerja
pukul 13.00-16.00.
Tradisi nitik tersebut mulai terpinggirkan
dengan masuknya teknologi sehingga mengganti tenaga manusia menjadi tenaga
mesin. Perubahan yang terjadi adalah masyarakat yang biasanya cukup menggunakan
martil untuk memecah batu kini berubah menggunakan mesin pemecah batu. Cara
masyarakat yang tradisional berubah menjadi cara yang lebih modern. Hal
tersebut tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat, dimana tradisi nitik mulai terpinggirkan karena pola
pikir masyarakat akan lebih profit
oriented. Tidak adanya regenerasi yang melanjutkan para penitik yang sudah tua karena hasil nitik dengan cara tradisional tentu tertinggal jauh dengan memecah batu dengan
mesin. Selain itu, generasi muda akan lebih memilih pekerjaan yang menghasilkan
rupiah lebih banyak dibandingkan dengan nitik,
mereka merantau bekerja di kota atau di luar negeri sehingga terjadi urbanisasi.
Hasil memecah batu
secara manual dengan menggunakan martil tentu memakan waktu dan tenaga, satu
rit bisa dihasilkan selama berhari-hari. Berbeda jauh dengan menggunakan mesin
pemecah batu yang seharinya dapat menghasilkan 21 rit. Konsumen yang membutuhkan
batu tentu akan memilih cara yang cepat. Saat mereka membutuhkan mereka hanya
tinggal menghubungi pedagang. Dalam waktu singkat batu sudah sampai, tetapi
jika menggunakan cara tradisional tentu konsumen harus menunggu lama sampai penitik selesai memecahkan batuan sesuai
pesanan. Maka masyarakat akan kehilangan tambahan pendapatannya sekaligus
tradisi mereka yang telah berpuluh-puluh tahun akan mulai terpinggirkan dengan
masuknya teknologi yang modern. Mereka yang masih bertahan dengan cara
tradisional akan sulit bersaing dengan mereka yang mampu membeli mesin.
Perubahan bukan hanya
terjadi pada cara memecah batu, cara mencari batu juga berubah. Awalnya warga
mencari batu secara tradisional menggunakan serok yang terbuat dari anyaman
bambu, sekarang saat teknologi masuk warga masyarakat lebih memilih mencari
dengan cara yang modern yaitu dengan menggunakan bahan peledak atau blasting untuk menghancurkan batu-batu
yang masif. Mencari batu menggunakan serok tentu sangat tidak efisien,
sedangkan dengan menggunakan blasting
maka pekerjaan mencari batu dianggap lebih mudah dan cepat.
Masyarakat yang nitik dulunya memperoleh batuan dari
warga yang berprofesi sebagai pencari batu. Namun sekarang mungkin masyarakat
memilih mencari sendiri dengan menggunakan blasting
yang tentunya lebih mudah. Selain itu, memecah batu sudah menggunakan mesin
sehingga semuanya dapat dilakukan sendiri dengan cara yang lebih efisien.
Masyarakat Trenggalek yang sudah variatif dan efisien dalam mengeksploitasi
akan lebih mendominasi dan menggantikan para penitik yang masih menggunakan cara tradisional. Hasil dari memecah
batu dengan mesin tentu jauh lebih besar jika dibandingkan memecah batu secara
manual dengan martil, atas pertimbangan ekonomis tersebutlah masyarakat beralih
dari martil ke mesin.
Masyarakat sangat
terbuka pada hal-hal baru, seperti masuknya teknologi mesin dan blasting yang menjanjikan kecepatan,
kemudahan, kemajuan, dan peningkatan produktivitas. Sikap masyarakat yang
terbuka ditandai dengan sikap menerima sehingga memudahkan proses perubahan itu
sendiri. Masyarakat memakai mesin dan menggunakan blasting untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Memang tidak
semua masyarakat Trenggalek memakai mesin dan blasting, terbukti dengan masih adanya para penitik yang masih bertahan dengan martilnya. Tetapi tentu
kehadiran teknologi sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehingga
tradisi yang sudah bertahan berpuluh-puluh tahun perlahan-lahan akan semakin
terpinggirkan. Apalagi dengan tidak adanya regenerasi akan memungkinkan tradisi
tersebut hilang dan punah seiring perkembangan zaman.
Teknologi memang
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi
yang perlu kita ingat bahwa teknologi selalu berwajah ganda, teknologi selalu
bermuka dua. Teknologi dapat menjadi teman, namun teknologi dapat menjadi
lawan. Aktivitas manusia banyak terbantu dengan adanya teknologi, namun tidak
sedikit pula aktivitas manusia yang terusik dengan adanya teknologi.
Dapat disimpulkan bahwa
dengan datangnya teknologi dalam kegiatan memecah batu atau nitik pada masyarakat Trenggalek yaitu
masuknya mesin pemecah batu dan blasting
telah menyebabkan banyak perubahan. Perubahan tersebut antara lain cara
tradisional yang tergantikan dengan adanya cara modern, sistem ekonomi yang
awalnya sistem ekonomi keluarga berubah menjadi sistem ekonomi uang, terjadinya
urbanisasi sehingga tidak adanya regenerasi para penitik. Tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin, tradisi nitik yang sudah lama ada terancam punah
dengan masuknya mesin. Penitik
tradisional sulit bersaing dengan mereka yang sudah menggunakan teknologi
modern. Para penitik pun kehilangan
sumber pendapatan mereka. Sistem kekeluargaan yang dibangun yaitu saat penitik mendapatkan batuan dari para
warga lain yang berprofesi menjadi pencari batu seolah hilang dengan adanya
teknologi.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Setiadi, Elly.,
Usman Kolip. 2011, Pengantar Sosiologi
(Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya),
Cetakan ke-2, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Soekanto,
Soerjono. 1983, Teori Sosiologi Tentang
Perubahan Sosial, Cetakan ke-1, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekanto,
Soerjono. 2009, Sosiologi : Suatu
Pengantar, Edisi Baru, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Susanto, Astrid
S. 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Cetakan ke-4, Penerbit Bina
Cipta, Jakarta.